Monday, December 30, 2013

Mengunyah investasi waktu

Khawatirmu khawatirku, beda. Mengapa harus isak sendu tersebut dipertunjukkan?

Sebuah sambungan komunikasi jarak jauh pagi hari. Bermuatan pertanyaan perihal penerbangan impian, keinginan, cita-cita dan harapan.

Suara deru mesin pemecah keramik beradu dengan suara ‘kita’. Perbincangan
Dua tahun, masih ditempat saja, katanya. Aku menyadari seperti aku berada di jalur yang salah. Tersesat. Ini perkara. Bukan berarti aku tidak kuat lagi menerima tekanan.

Aku sudah siap dengan segala resikonya dua tahun silam. Mencoba memerdekakan dirinya sendirinya. Dengan caranya sendiri dan pilihannya.

Aku porak-poranda dengan segala kegagalan-kegagalanku. “Habiskan jatah kegagalanmu sedini mungkin”, kata Dahlan Iskan di twitter. Dua tahun yang sudah berlalu walau demikian, tetap membuatku bernyawa dan hidupku berwarna. Belajarku, kegagalanku, dan dia.

Aku tak minta dan ingin menuntut hal apapun darimu. Aku hanya fokus melakukan yang terbaik. Beribu-ribu maaf, jika belum bisa membuat kalian bangga. ‘kalian’ yaitu dia, keluarga, kawan-kawanku.

Tak pernah hilang dari pikiranku, niat untuk meledakkan diriku. Mengumpulkan mantra dan berusaha. 

Siksaan diri berupa seputar pertanyaan yang itu-itu aja dan cemoohan, menjadi rutinitasku. Aku sedang sibuk menghadapi tamu agung tersebut yang riuh dan memuakkan.

Mencari jalan, melangkah, memaknai,  dan berlari menjemput matahari terbit. Penuh penderitaan, jenuh, lelah, tetapi aku menikmatinya. Tuhan selalu aku curhati, alam semesta membimbingku dengan segala momen dan kejutannya.


Manusia tak lepas dari masalah dan sekarang aku sedang mencurahkan pikiran. Menyalami terus kesempatan dan kepercayaan. Bila ada pertanyaan “sampai kapan?”, akan aku jawab “sebentar lagi”. Mungkin bukan sekarang, mungkin juga bukan besok, tapi nanti…. Percayalah! 

Monday, August 12, 2013

Pariwisata rencana

Harusnya sih gak kaget dan gak boleh kecewa, karena memang sudah diperkirakan demikian. Namun, ini cukup menyeret ke ruang otak. Menjadi beban pikiran.

Ada kalanya ketika rencana tersebut sudah dipastikan kita pegang hasilnya, jika jaraknya sudah terlampau jauh. Mencoba menghitung dengan skala sedang, bahwa hasilnya ada ditangan kita. 

Hasil terkadang membuat kita menjadi mengundurkan diri terhadap sesuatu hal, bahkan fase proses pun juga menyeret demikian. Terjun bebas sebebas-bebasnya. 

Kadangkala, sesuatu yang tidak kita taruh harapan besar malah membawa kejutan yang membanggakan. 

Perjalanan yang sebelumnya "mungkin" belum seberapa, atau mungkin belum terasah banget. Secara sadar, memang masih ada rasa was-was yang menghantui, dan hari inilah hasil tersebut berubah posisi peringkat. Gila!

Saya merasaka betul bagaimana kecewanya. Bagaimana ketidaknyamanan ini bisa tidur nyenyak dipikiran saya. Gemetaran, deg-degan. Ini menjadi tantangan besar yang harus dilangkahkan kembali selagi masih ada sisa hari target.

Apakah saya akan gagal dalam rencana yang sudah saya terbitkan melalui sebuah janji? let`s see...

Saturday, June 22, 2013

Bedah Buku Susilo boncell jombloyono

Acara bedah buku yang diadakan di Houten Hand pada tanggal 7 Juni, mengagendakan Rizky sebagai penulis untuk mengupas bukunya yang berjudul Susilo boncell jombloyono. Buku ini bercerita tentang keabsurd-an rizki alias boncell yang sebagian besar adalah kisah nyata yang dialaminya. “Yang jadi juara itu gak harus punya, pasangan, tapi jomblo pun bisa juara, yaitu membanggakan dirinya sendiri, ucapnya”, bercerita tentang keinginannya menjadi presiden jomblo Indonesia, membuat negara sendiri, partai sendiri, membuat peraturan sendiri. Judul buku tersebut merupakan judul yang ada di dalam bab buku. Tidak heran jika bukunya tersebut berjudul demikian, kenyataannya sang penulis pun belum pernah berpacaran. Ada 16 bab dan 1 komik di dalam bukunya. “Kenikmatan Pagi” merupakan salah satu cerita dalam bukunya, yang menceritakan sahabatnya si Toto, ada apa dengan Toto? Bagi yang penasaran dengan Toto nya si Rizki dan cerita absurdnya yang ingin menjadi presiden jomblo, kalian bisa mendapatkan buku tersebut di toko buku seluruh jawa. Buku yang diterbitkan oleh penerbit buku Litera ini, dicetak sebanyak 1000 eksemplar dengan harga 30 ribu rupiah. 


Sunday, June 16, 2013

MORFEM: Hey Makan Tuh Gitar di Malang

Hey Freeen! (meminjam sapaan khas Jimi), band indie MORFEM baru-baru ini telah mengunjungi kota Malang dalam rangkaian mini tour album kedua mereka yaitu Hey Makan Tuh Gitar di 5 kota pulau Jawa. Kota Malang menjadi kota kedua yang dikunjungi dan kunjungan MORFEM untuk yang kali kedua. Bertempat di Levels Brewhouse pada 9 Juni,  MORFEM menyapa dan menghibur penikmat musik rock dan fansnya. Dalam tour album kedua mereka, MORFEM juga melibatkan dua band Malang yaitu KOBRA dan Begundal Lowokwaru yang juga mengisi acara sekaligus berkolaborasi dengan mereka.

Band yang beraliran fuzzrock ini, merilis album ‘Hey Makan Tuh Gitar!’ pada 24 Maret 2013 melalui label independen MRFM dan Demajors. Formasi band MORFEM di album kedua ini terdapat pergantian personil pada bassist yang tadinya Bramasta, sekarang diisi oleh Yanu. Vokalis Jimi Multhazam, Gitaris Pandu Fuzztoni, Bassist Yanu Fuadi, dan Drummer Freddie A. Wannerin.
sumber: google pic
Nama album Hey Makan Tuh Gitar tersebut diambil dari penggalan lirik di lagu Seka Ingusmu. Dengan 11 lagu di album kedua, diantaranya; 180 derajat, Hey tuan botimen, Senjakala cerita, Legenda berbalut ngeri, Era gelap sirna, Hujan Kunjungi kami, Bocah cadel lampu merah, Berlagak gila, Seka ingusmu, Cerdas dan taktis, dan Jalan darat. Untuk tema album kedua ini tidak begitu berbeda dengan album pertama yaitu lirik-liriknya bercerita fenomena keseharian dan kritik sosial dari sudut pandang yang unik oleh Jimi Multhazam. Jimi mengisahkan, bahwa ini adalah tahunnya MORFEM nih, walaupun sempat ganti personil, tapi chemistry nya lebih mengena, ditambah dengan permainan gitar dari Pandu yang kuat, distorsi gitar yang kencang, eksplor sound banget dan sesuai dengan melodinya yang cepat. Namun, nuansa noise rocknya terasa begitu ramah ditelinga.

Lagu ‘Pilih sidang atau berdamai’ (album pertama), menjadi lagu pembuka. Disusul dengan ‘Hey tuan botimen’, ‘Berlagak gila’, ‘180 derajat’, dan nampaknya belum bisa membuat suasana memanas, walaupun penonton juga ikut bernyanyi bersama dekat panggung. Dengan membawakan lagu yang cukup familiar didengar, Jimi featuring dengan Ovi (KOBRA) dengan lagu ‘Sugali’ yang sudah diaransemen, atmosfir yang dimaksud kurang memanas kini mulai naik, dan puncaknya ditandai dengan penonton yang moshing dan bernyanyi ketika MORFEM membawakan ‘Blitzkriegpop’ The Ramones. Sylvia Saartje, lady rocker legendaris Indonesia, juga hadir di acara tersebut.

Setelah berhasil membuat suasana memanas diselingi juga dengan celotehan Jimi yang mengundang tawa. Kini suasana dibawa kalem dengan lagu “Tidur dimanapun, bermimpi kapanpun” secara akustik oleh Chipeng (Begundal Lowokwaru) feat Jimi. Kombinasi setlist lagu-lagu di album pertama, album kedua, dan single lagu yang masuk dalam kompilasi frekuensi perangkap tikus, membuat perform yang ciamik dan memuaskan penonton menjelang akhir acara. MORFEM menutup penampilan mereka dengan lagu ‘Gadis Suku Pedalaman’. Disini letak menariknya, ketika membawakan lagu tersebut bagian reff Jimi mengubahnya menjadi “Ku spekulasi kau bercinta, dengan gadis dari kota Malang” sontak membuat penonton yang memenuhi venue ikut bernyanyi dan meninggalkan keseruan perpisahan di akhir perform MORFEM yang begitu berkesan. Senada dengan slogan mereka, yaitu “MORFEM datang semua senang”. Saya pulang dengan hati gembira dan senang telah memiliki CD Album MORFEM  ‘Hey Makan Tuh Gitar!’ lengkap dengan tanda tangan dari FAW dan Jimi. Saiiik freeeen


Koleksi pribadi rilisan fisik 2 CD album MORFEM "Indonesia" & "Hey Makan Tuh Gitar!"

Sunday, May 12, 2013

Hilang



16 September 2011

Aku menyukai sekali foto ini. Sekaligus tampak wajah tersenyum aku dan Melisa (pacarku) bersesi foto di samping bangunan DIANNS & jalan tersebut. Bukan bermaksud untuk mengumbar kemesraan tetapi hanya foto ini yang aku miliki dengan  bangunan DIANNS Tbk dan foto ini yang paling wow buatku.  Aku suka dengan foto ini, rasanya seperti ada kenikmatan tersendiri yang diberikan dari foto itu, dan membuat aku tersenyum sendirian. Dan inilah fungsi foto yang mengingatkan kembali jejak memori kenangan. Yap, foto itu mengabadikan, proses mengingat itu juga untuk keabadian, mendokumentasikan segala hal penting dalam hidupku yang menurutku penting dan sekiranya entah suatu objek yang ditangkap  mata kameraku tersebut akan hilang. Dan ternyata benar, ada beberapa objek di dalam foto tersebut yang sekarang ini sudah tidak ada lagi. Objek pertama adalah helm berwarna putih, yang kedua adalah bangunan fisik bertuliskan DIANNS Tbk.

Helm retro cebok berwarna putih tersebut merupakan pemberian dari sahabatku, namanya Hero Ristyano. Anaknya baik sekali, humoris, jiwa petualang, yang jelas dia orang yang sederhana tapi sangat dermawan. Aku menyayangkan sekali helm retro putih tersebut hilang. Saat itu, temanku meminjam helm retro putih tersebut karena dia naksir dengan helmnya, "unyuuu", katanya. Aku pun meminjamkannya, dengan senang hati. Toh, aku masih punya helm lagi yang biasa kupakai sehari-hari yang bersticker Indonesia (tampak di foto). Namun, setelah berselang hampir tiga minggu dipinjam, dan aku ingin menggunakannya kembali, aku terkejut ketika mendapati jawaban via sms. "Git, maaf helmnya hilang, aku ganti ya berapa harganya", ucapnya. "Hilang ya? aduh kok bisa? teledor." batinku. Aku mengabaikan pertanyaanku tersebut dan tak ingin dijawab juga oleh temanku yang meminjamnya. Ku balas pesan tersebut, "Oh yaudah engga apa-apa, gausah diganti juga gapapa kok, ikhlas." Benda pemberian itu walaupun sederhana tapi  membuat kita mengistimewakannya. Merawat jaga, menjaga pakai, benda tersebut dengan baik. "Beneran nih? makasih ya git, semoga tuhan membalas kebaikanmu," balas temanku. 

Untuk yang kedua, bangunan fisik tersebut meninggalkan banyak kisah. Sangat banyak. Bagaimana tidak, dan ini berbeda dengan helm retro putih yang hanya menemaniku beberapa bulan saja lalu hilang. Bangunan DIANNS Tbk entah tepatnya kapan, yang saya tahu DIANNS itu berdiri pada tahun 1981. Cukup lama bukan? memang.  Rumah  yang  membesarkan/mendamping para penghuninya, manusia yang pernah singgah tetap disana. Kalian pasti punya yang namanya rumah kenangan? dimana rumah tersebut merupakan tempat yang menjadi saksi tumbuhnya kalian menjadi dewasa. Punya kakak, punya adik, ibu, ayah persis seperti sebuah keluarga. Masing-masing memiliki perannya, yang sebagai kakak ya membimbing adik-adiknya, yang udah orangtua ya mengawasi dan mendampingi. Bangunan tersebut adalah rumah warisan turun menurun. Warisan segala barang-barang rongsoknya, warisan karya di setiap generasinya, warisan prestasi yang selalu membuat persaingan untuk menjadi generasi yang terbaik di zamannya, dan warisan cerita menarik/heroik/menginspirasi lainnya. Banyak warisan. Tetapi, warisan yang berharga dan harus dilestarikan adalah soal prinsip yaitu Radikal, oRA weDI diceKAL. Itu warisan secara kontekstual.

Kini, bangunan tersebut telah roboh. Hilang. Disapu oleh kebijakan. Sedih tapi tak berlarut. Pindah rumah. Memulainya dari halaman yang baru lagi. Mengarsipkan segala warisan tetek bengek yang pernah ada rumah sebelumnya, kultur, data para penghuni dan atmosfir disana jangan sampai ada yang hilang. Suatu saat, mungkin kita bisa bernostalgia jamaah bersama dengan para penghuni yang dulu hingga sekarang.



Friday, May 10, 2013

Menangkap rasa


Ditulis pada 8 November 2011

Siang hari. Di lorong kelas kampus, menunggu jam mata kuliah Kepemimpinan.

Aniono dan Bakrizal memang hebat ya.  Jarang lho orang yang bisa seperti mereka. Puji Fahri dengan tulus.

Hebat apanya,ri? Kenapa kau memuji bangga seperti itu? Sambil berpikir mengapa.

Ya,mereka berdua mendapat gelar bintang jasa Adipradana karena telah memberikan sumbangsih yang sangat berguna bagi negara, terang fahri. Dan mereka pantas.

Kembali bertanya-tanya dalam hati.

Kok saya tidak merasakan apa-apa terhadap atas peran mereka? Mengenal nya saja pun tidak,apalagi merasakan jasa mereka, jelas mutia. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Heran.

Dalam pengalaman Indonesia yang saat ini sedang terpuruk, tidakkah harusnya mereka berpikir dan instropeksi. Semudah itukah mendapatkan gelar bintang jasa tersebut. Prestasi apa yang sudah diberikan bagi negeri ini?

Tertarik dari rasa ingin tahuku, aku bertanya pada kawan kuliahku si narno. Dan terjadilah diskusi singkat untuk menjemput jam kuliah ..

Aku sudah mengemukakan hal ini pada fahri. Tapi fahri tetap memuji sang penerima bintang jasa.
Mutia memulai pembicaraan diskusi.

Hey, ini seperti barang yang diobral secara murah. Apakah karena memang sebentar lagi menjelang lebaran sehingga semuanya serba diobral murah? Ataukah ini dampak dari iklan-iklan operator yang bersaing menawarkan bonus ini itu secara cuma-cuma?

Aku cemas,sangat cemas sekali terhadap apresiasi pada orang yang dinilai berjasa kepada negara. Jangankan untuk tokoh yang akan disematkan bintang jasa nanti pada Hari penting Nasional. Pahlawan yang sudah jelas berjasa pada Negara ini pun sudah agak kita abaikan (lupakan) jasa-jasa nya. Ditambah lagi,dengan pemberian penghargaan bintang jasa yang terkesan seperti tiket kereta kelas ekonomi.

Saya juga heran !, narno menimpali ucapan mutia. Padahal negeri ini sangat membutuhkan sosok pemimpin yang menunjang pembangunan bangsa dan negara.

Apa yang diperlihatkan oleh bakriezal pada negeri ini yang dimana sampai saat ini kasus lapindo belum juga terselesaikan tanggung jawabnya. Keadilan yang seharusnya didapat rugi atas tanah mereka, kini hak tersebut  terendam lumpur juga. Karena bagi saya keadilan itu lebih diartikan sebagai prestasi tertinggi. Yang merisaukan disini adalah kenapa tokoh seperti bakriezal layak mendapatkan penghargaan bintang jasa?

Tidak semua rakyat, seperti kami menghendaki. Dimana demokrasi yang seutuhnya? Sudah ada uji publik nya belum atau ini lagi-lagi permainan politik? jelas narno dengan nada berapi-api.

Kami tidak keberatan jika mereka mendapatkannya, tapi tolong kewajiban harus diutamakan lebih dahulu. Satu lagi, coba lebih selektif dalam menentukan.

Mutia masuk pembicaraan. Benar,no! partisipasi rakyat dalam sebuah intervensi itu kan harus selalu ada ya?,tanya mutia.

Iya, benar mut. Partisipasi rakyat menentukan mutu demokrasi. Mungkin bisa dilakukan uji publik terlebih dahulu.

Kembali pada hal sikap politik atau bukan, membereskan basis kekuatan citra partai nya atau apalah. Yang jelas rakyat kelas bawah selalu berada pada pusaran penderitaan. Kelas atas yakni elite politik selalu berjuang demi kemakmuran diri nya sendiri maupun golongan nya.

Demikian pun, persoalan penghargaan bintang jasa ini muncul akibat representasi yang dinilai seperti pembagian jatah prestasi. Sepintas memang kami tidak dirugikan sama sekali. Tapi sejarah akan mencatat itu. Ini menjadi kebutuhan nyata dan mendesak ,untuk keperluan negara ataukah ini menyangkut urusan politik semata yang semakin hari tak dapat dihindari urgensinya?

Dari kejauhan tampak seorang pria yang berkumis tebal dan berkacamata hitam,bercelana jeans, serta rambut bela tengah.  Dan obrolan pun berakhir.

Hey..Mut,No. Pak Fadil sudah datang tuh. Ayo kita masuk kelas.

Tuesday, April 30, 2013

Thursday, April 25, 2013

Tuntaskan

Presiden Mahasiswa Universitas Brawijaya baru terpilih yaitu Rizky Kurniawan sempat melakukan tindakan yang heroik dan berani sekaligus mengingatkan kembali memori kita semua untuk melawan lupa pada kasus lumpur lapindo. Saat itu ketika Aburizal Bakrie datang ke Universitas Brawijaya untuk mengisi kuliah tamu kewirausahaan pada hari Jumat Pekan lalu. Aburizal mendapat kado istimewa dari Presiden mahasiswa UB sebuah lumpur pada sesi acara kuliah tamu. Sebagai simbolis, lumpur tersebut kembali mengingatkan pada ketum partai berlambang pohon beringin ini untuk segera menuntaskan permasalahan kasusnya yang sudah menginjak 7 tahun belum selesai tersebut. Selama 7 tahun pula semburan lumpur lapindo tak kunjung berhenti. Tragedi lumpur lapindo melahirkan dampak negatif yang hebat. Menenggelamkan harapan hidup orang banyak, menenggelamkan sebagian perekonomian, menenggelamkan sosial budaya yang tadinya tumbuh sehat, menenggelamkan infrastruktur pendidikan dan menenggelamkan keadilan hukum Indonesia juga atas perbuatannya. Gila!

Ribuan penduduk sipil diungsikan, puluhan pabrik terpaksa harus berhenti beroperasi, otomatis lahir ribuan  pengangguran, areal pertanian berhektar-hektar ludes, dan kerusakan lingkungan akibat dari bencana tersebut yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Sudah 7 tahun semburan lumpur lapindo memberikan penderitaan bagi rakyat sipil dan negara. Pada kenyataannya, negara yang harus memikul bencana lumpur lapindo tersebut. Penanganan korban dan penuntasan ganti rugi kepada rakyat sipil yang menjadi korban semburan lumpur pun juga tak kunjung selesai selama 7 tahun ini. Menurut Kerusakan yang terjadi menjadi social cost akibat pengeboran minyak yang gagal tersebut, ini menjadi tanggung jawab jangka panjang oleh negara. Peristiwa ini juga menyita perhatian secara nasional bahkan luar negeri. Bersyukur, kita masih punya aktivis, beberapa elemen LSM yang terus berjuang dengan gigih untuk memperjuangkan keadilan demi kepentingan hidup orang banyak sama juga seperti aksi sederhana dari Presiden mahasiswa UB yang mengingatkan secara simbolis tersebut. Sekedar mengingatkan saja sudah cukup, lebih dari itu malah lebih baik. Cukup mencerminkan masih punya sisi etis manusia, sebagai makhluk yang mempunyai hati nurani sekaligus sebagai pemimpin dan mahasiswa yang punya label agent of change

Hukum di Indonesia, kalau kita perhatikan selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan. Kepastian hukum bisa diatur oleh orang yang memiliki kekuasaan. Prihatin, pakai sinis juga sih. Tapi itulah kenyataannya. Bahwa hukum telah dipelintir oleh kekuasaan politik. Engga heran juga. Sehingga, peristiwa lumpur lapindo masuk dalam kategori bencana alam. Perusahan besar selalu dekat dekat dengan kekuasaan dan negara, apalagi perusahaan perminyakan. Padahal secara ilmiah, gagalnya eksplorasi minyak&gas tersebut bukan akibat dari bencana alam (gempa,red), hal tersebut ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan pertambangan internasional. Seharusnya, pihak PT.Lapindo lah yang harus bertanggung jawab penuh dalam peristiwa tersebut. Menjengkelkan rasanya, negara yang harus menanggung triliunan rupiah akibat ulah kelalaian korporasi dan kepastian hukum yang belum adil. Everday politics, uh! Everyday politics terus pemberitaannya. Pemberitaan perkelahian dan konflik internal, ribut-ribut parpol, DPR,dll. Oke, mungkin itu diskusi sampai debat hebat dan kerja mereka ditampilkan untuk rakyat. Tapi,  kerja dan perilaku politik mereka yang gaduh membuat bingung masyarakat. Jangan heran, kalau pemberitaan pada daerah seperti Indonesia bagian timur seperti Papua kurang, kok kasihan ya di daerah timur sana, tak hanya timur, tapi hampir semuanya. Apalagi kisah terbaru tentang Tasripin, yang juga tampil di layar tv, cukup trending topic kok, Tasripin ialah seorang bocah yang harus menghidupi ketiga adik-adiknya tanpa orang tua. Mana tuh si kuning golongan karya? orang-orang yang berkarya untuk negeri? Oh mungkin karyanya adalah ‘janji’ doang. Negeri ini banyak tayangan pelestarian kemiskinan dan ketidakadilan ih. 

Masih ingat Hari Suwandi salah satu korban lumpur lapindo? Ya, dia salah satu korban lumpur lapindo yang melakukan aksi heroiknya dengan berjalan kaki seorang diri dari Porong menuju Jakarta.Namun, sayang hasilnya adalah ia berkhianat saat live wawancara di media yaitu Tv One milik grup Bakrie. Negeri ini begitu mengkhawatirkan ya. Uang menjadi raja, manusia dikuasai benda itu. Hanya demi uang yang dijanjikan 5 juta perbulan, Hari Suwandi  abaikan amanah dan harapan mewakili dari banyaknya korban lumpur lapindo. Sama aja, dia cuma janji, gak jauh beda kan sama orang-orang yang itu tanda kutip. Ini potret nyata yang bukan terjadi di orang-orang senayan atau pejabat lainnya. Tapi manusia yang mencoba untuk menjadi pahlawan, tapi jegleg di tengah jalan. Ada apa dengan hati nurani? Konslet? Mungkin iya. Niat dan aksi aja juga gak cukup. Loh terus aksi jalan kaki yang sudah dilakukannya? Bisa saja narsis, bisa saja manis dimulut dan keberanian fisik, tapi secara moral, nihil. Permainan kotor dibalik layar dari media. Semua bisa dihalalkan dengan segala cara demi kepentingan medianya. Hari Suwandi pun demikian, serakah. Membuat pernyataan yang mengecewakan harapan banyak orang, korban lumpur lapindo. Lucu! Individualisme! Makanya gak heran sekarang klo agak skeptis dengan dunia aktivis, skeptis juga sama dunia parlemen, dengan mudah banyak yang menjadi oportunis. 

Pahit memang harus menerima kenyataan ini. Sebagai korban lumpur lapindo, mereka tak punya kekuatan besar. Lalu apa yang bisa mereka perbuat? Tidak ada. Mereka cuma punya cerita dan harapan yang dimana beberapa elemen masyarakat lainnya bisa tergerak untuk membantu menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan tersebut.  Cerita hanya bisa menjadi kisah yang usang, bila tak segera diselesaikan. Bagaimana mau mencapai happy ending?

Dalam akun twitternya presiden kita mengeluarkan pernyataan “Kita harus mendorong investasi dan bisnis di Indonesia,tapi rakyat harus menjadi tuan rumah di negeri nya sendiri” (Acara Thomson Reuters Newsmaker di Singapura). Nyatanya, emang rakyat memang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, tapi tuan rumah yang pura-pura. Terus yang tuan rumah siap? Siapalagi kalau bukan si penerima tamu itu, ya wakil tuan rumah itu. Mungkin, yang penting everyday politics, everyday proyek, everyday rapat, everyday pembangunan, everyday korupsi, everyday, tapi rakyat punya every thursday yaitu acara kamisan di depan istana negara jakarta sebagai bentuk propaganda kampanye penegakan HAM.

Persoalan lumpur Lapindo tidak hanya sebatas ganti rugi aset warga, habis itu sudah, habis itu selesai. Banyak persoalan yang harus diperhatikan, masalah kerusakan lingkungan, air bersih disana, kesehatan, pendidikan untuk anak-anak, dan tatanan sosial masyarakat. Hal tersebut harus dikembalikan lagi, itu aset mereka dan hak mereka.  Apakah mungkin keadilan,hak mereka bisa didapat? Mungkin saja bisa, seungguhnya yang dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial - kepedulian dan rasa tanggung jawab antara warga bangsa. Segera ambil peran kawan!

Sunday, April 14, 2013

How to Write Fiction by Ernest Hemingway

I found  this article from http://www.stumbleupon.com I think Hemingway's writing style is so useful, I would like to spread it on my blog. Article writer is Mike Springer. Happy reading, guys. Enjoy!

Seven Tips From Ernest Hemingway

Before he was a big game hunter, before he was a deep-sea fisherman, Ernest Hemingway was a craftsman who would rise very early in the morning and write. His best stories are masterpieces of the modern era, and his prose style is one of the most influential of the 20th century.


Hemingway never wrote a treatise on the art of writing fiction.  He did, however, leave behind a great many passages in letters, articles and books with opinions and advice on writing. Some of the best of those were assembled in 1984 by Larry W. Phillips into a book, Ernest Hemingway on Writing. We’ve selected seven of our favorite quotations from the book and placed them, along with our own commentary, on this page. We hope you will all–writers and readers alike–find them fascinating.

1: To get started, write one true sentence.

Hemingway had a simple trick for overcoming writer’s block. In a memorable passage in A Moveable Feast, he writes:

Sometimes when I was starting a new story and I could not get it going, I would sit in front of the fire and squeeze the peel of the little oranges into the edge of the flame and watch the sputter of blue that they made. I would stand and look out over the roofs of Paris and think, “Do not worry. You have always written before and you will write now. All you have to do is write one true sentence. Write the truest sentence that you know.” So finally I would write one true sentence, and then go on from there. It was easy then because there was always one true sentence that I knew or had seen or had heard someone say. If I started to write elaborately, or like someone introducing or presenting something, I found that I could cut that scrollwork or ornament out and throw it away and start with the first true simple declarative sentence I had written.

2: Always stop for the day while you still know what will happen next.

There is a difference between stopping and foundering. To make steady progress, having a daily word-count quota was far less important to Hemingway than making sure he never emptied the well of his imagination. In an October 1935 article in Esquire “Monologue to the Maestro: A High Seas Letter”) Hemingway offers this advice to a young writer:

The best way is always to stop when you are going good and when you know what will happen next. If you do that every day when you are writing a novel you will never be stuck. That is the most valuable thing I can tell you so try to remember it.

3: Never think about the story when you’re not working.

Building on his previous advice, Hemingway says never to think about a story you are working on before you begin again the next day. “That way your subconscious will work on it all the time,” he writes in theEsquire piece. “But if you think about it consciously or worry about it you will kill it and your brain will be tired before you start.” He goes into more detail in A Moveable Feast:

When I was writing, it was necessary for me to read after I had written. If you kept thinking about it, you would lose the thing you were writing before you could go on with it the next day. It was necessary to get exercise, to be tired in the body, and it was very good to make love with whom you loved. That was better than anything. But afterwards, when you were empty, it was necessary to read in order not to think or worry about your work until you could do it again. I had learned already never to empty the well of my writing, but always to stop when there was still something there in the deep part of the well, and let it refill at night from the springs that fed it.

4: When it’s time to work again, always start by reading what you’ve written so far.

T0 maintain continuity, Hemingway made a habit of reading over what he had already written before going further. In the 1935 Esquire article, he writes:

The best way is to read it all every day from the start, correcting as you go along, then go on from where you stopped the day before. When it gets so long that you can’t do this every day read back two or three chapters each day; then each week read it all from the start. That’s how you make it all of one piece.

5: Don’t describe an emotion–make it.

Close observation of life is critical to good writing, said Hemingway. The key is to not only watch and listen closely to external events, but to also notice any emotion stirred in you by the events and then trace back and identify precisely what it was that caused the emotion. If you can identify the concrete action or sensation that caused the emotion and present it accurately and fully rounded in your story, your readers should feel the same emotion. In Death in the Afternoon, Hemingway writes about his early struggle to master this:

I was trying to write then and I found the greatest difficulty, aside from knowing truly what you really felt, rather than what you were supposed to feel, and had been taught to feel, was to put down what really happened in action; what the actual things were which produced the emotion that you experienced. In writing for a newspaper you told what happened and, with one trick and another, you communicated the emotion aided by the element of timeliness which gives a certain emotion to any account of something that has happened on that day; but the real thing, the sequence of motion and fact which made the emotion and which would be as valid in a year or in ten years or, with luck and if you stated it purely enough, always, was beyond me and I was working very hard to get it.

6: Use a pencil.

Hemingway often used a typewriter when composing letters or magazine pieces, but for serious work he preferred a pencil. In the Esquire article (which shows signs of having been written on a typewriter) Hemingway says:

When you start to write you get all the kick and the reader gets none. So you might as well use a typewriter because it is that much easier and you enjoy it that much more. After you learn to write your whole object is to convey everything, every sensation, sight, feeling, place and emotion to the reader. To do this you have to work over what you write. If you write with a pencil you get three different sights at it to see if the reader is getting what you want him to. First when you read it over; then when it is typed you get another chance to improve it, and again in the proof. Writing it first in pencil gives you one-third more chance to improve it. That is .333 which is a damned good average for a hitter. It also keeps it fluid longer so you can better it easier.

7: Be Brief.

Hemingway was contemptuous of writers who, as he put it, “never learned how to say no to a typewriter.” In a 1945 letter to his editor, Maxwell Perkins, Hemingway writes:

It wasn’t by accident that the Gettysburg address was so short. The laws of prose writing are as immutable as those of flight, of mathematics, of physics.

Related content:

Kisah Perubahan


Setiap zaman memiliki prestasi masing-masing. Karena setiap zaman selalu ada perbedaan karya. Dan karya itu harus di apresiasi bagaimanapun juga. Karya yang lahir itu merupakan hasil dari sebuah kerja keras. Ada kerjasama disitu. Bisa juga individual. Namun konteks kali ini adalah karya dari team work. Setiap generasi memiliki bibit-bibit manusia yang berbeda. Secara luas. Baik itu berkualitas dan tidak. Namun, jika team work itu bisa bekerja dengan baik, maka bibit yang tidak berkualitas pun menjadi unggul. Yang sudah berkualitas akan makin unggul. Berdasarkan pengamatan, regenerasi tiap tahun selalu mengalami perkembangan baik. Setidaknya, saya menyambut senang dengan kenyataan tersebut. Walau masih ada kekurangan.

Bukan berarti mereka pantas untuk bisa sombong, tetapi mereka layak untuk dihargai, dihormati. Saya akui itu. Ini bukan kerja atas satu individu, tetapi banyak orang di kepengurusannya. Kepemimpinan seseorang memegang peranan penting dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya. Ini mutlak bukan hasil dari kepemimpinan satu orang. Ingat ya! Pahamilah juga tentu seorang pemimpin pasti memerlukan bantuan dari bawahannya, dan perlu berhati-hati juga pada bawahan, karena mereka punya kekuatan besar juga untuk menjatuhkan seorang pemimpin. Ya, ini hasil dari kepemimpinan dari setiap pemimpin divisi dan setiap orang-orang didalamnya yang memiliki jiwa kempemimpinan cukup matang. Semua saling melakukan pembelajaran, dan saling berbagi ilmu. Cukup solid, tapi tidak kuat dan hebat. Mereka cukup eksis tapi tidak greget. Tapi kepengurusan mereka membuat saya gregetan, envy pokoknya. Tiap zaman sepertinya juga begitu, ada saja hal yang membuat iri. Wajar. Tapi ada prestasi juga yang tidak bisa dikalahkan di tiap generasi. Lucu, tapi kenyataan. 

Ada pepatah yang mengatakan, meraih kejayaan itu bisa saja, tapi untuk mempertahankannya itu yang tidak mudah. Ada hasil perjuangan yang harus diteruskan di generasi berikutnya, ada prestasi yang harus dipertahankan agar tidak hancur organisasi tersebut. Ada sanksi moral yang harus dipertanggungjawabkan pada masa depan generasi berikutnya. Itu masih saya lakukan, begitupun dengan orang-orang hebat (orang-orang jadul pun, diatas saya) yang sudah selesai mengabdi di organisasinya, tetapi masih terus mengawal perkembangan organisasi yang pernah mereka geluti. Tidak salah bahwa inilah yang dinamakan sebuah keterikatan keluarga besar organisasi. Ada tali silaturahmi yang terus hidup, ada ruh organisasi yang masih bersemayam di jiwa para alumninya. Ada rasa kebersamaan, dan romantisme konflik di zamannya yang membuat menjadi terikat dan tidak bisa lepas. Tentunya hanya beberapa orang saja. Tidak perlu semuanya. Ini ke sukarelaan, kepeduliaan dari seorang alumni kepada pahlawan organisasi yang sedang berjuang. Layaknya seperti kemerdekaan Negara republic Indonesia, kita harus terus mengawal dan mempertahankan almamater kecintaan kita. Tempat dimana kita berproses, tempat kita ditempa menjadi orang yang hebat dan bermanfaat. Memiliki sejumlah keahlian di beberapa bidang. Kaya akan wawasan pengetahuan. Insyaallah.

Ada rasa kekhawatiran dan rasa gelisah. Ketika mendengar, bahwa angkatan berikutnya belum bisa untuk dilepas, dan belum cukup untuk memimpin organisasi tersebut. Wajar. Tentu ada pertimbangan dari angkatan sebelumnya yang sekarang baru saja sudah selesai masa baktinya. Sah-sah saja. Kalau dari saya, tetap mengawal saja dan tidak mau ikut campur lebih dalam. Ada batasan yang tidak boleh dilalui. Ini regenerasi, mereka harus bisa menentukan apa yang harus dilakukan. Kami cuma sebagai orang yang mengamati lalu lintas di jalan raya, lalu ketika ada orang yang bingung, bertanya pada sebuah alamat, kami hanya memberitahu saja dimana orang tersebut harus menuju kesana. Ya seperti itu posisi kami. Ada petunjuk yang kami berikan, kami yang tahu peta. Jangan sungkan untuk bertanya. Toh tetap kalian juga kan yang memutuskannya. Silakan. Itu bebas.

Ada semacam rasa kurang percaya dari generasi sekarang pada generasi yang berikutnya. Namun, inilah dilema. Kepemimpinan berikutnya bisa dibilang akan dipegang oleh perempuan. Mayoritas memang banyak perempuan, yang berkompeten memang masih perempuan di angkatannya. Saya jadi ingat sosok almarhum Margaret Thatcher. Dia dikenal sebagai ‘iron lady’. Karena sosok kepemimpinannya yang tegas dan berani. Sempat disepelekan, karena belum pernah ada sebelumnya sosok perempuan di dalam parlemen inggris. Dengan pantang menyerah dan terus berusaha menunjukkan hasil, segala keputusan yang agak beda (tidak populer), namun semuanya bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.  Ada nilai positifnya. Margaret orang yang kekeuh, sangat berpendirian teguh apa yang diyakininya. Ada resiko yang berani dia ambil. Ada tantangan yang menjadi sumber energi motivasi untuk bisa mencapai tujuannya. Margaret Thacher berkata, “Anda mungkin harus bertarung dalam suatu pertempuran lebih dari satu kali untuk memenangkannya.” Jangan pantang menyerah dan putus asa, mungkin itu. Bukan percaya diri juga, tapi optimis. Tetapi bukan berarti harus menaruh kepercayaan diri (apalagi tinggi) takutnya malah menjadi kesombongan, arogansi yang berakibat pada kehancuran juga. ‘Jumawa’ dalam bahasa jawanya kalau tidak salah. Sudah hampir 5 periode dipimpin oleh kaum adam. Organisasi kita juga pernah dipimpin oleh perempuan. Tak sedikit banyak hal keren dari kepemimpinan perempuan. Saya enggan untuk menceritakan lebih detail, takut salah cerita, karena saya agak pelupa. Tapi bila melihat para perempuan yang pernah memimpin organisasi kita sebelumnya dengan keadaan sekarang, mereka sukses. Mungkin teman-teman tahu sedikit siapa saja yang sukses dan kita bangga memiliki alumni yang hebat.

Aku yakin, bila kita tetap mengawal perjuangan yang akan diteruskan oleh mereka, insyaallah semuanya berjalan dengan baik. Ada level berikutnya yang bisa dicapai. Terlebih, saya bangga dan salut sama generasi yang baru selesai masa baktinya, ada  banyak perubahan positif besar yang dihasilkan. Dan itu keren! Salam cinta pada kalian semua.

Monday, April 1, 2013

Konsepsi


24 Oktober 2012

Malam hari, di kediaman beliau. Saya berkunjung seorang diri, karena kangen ingin bertemu dan ngobrol bersama beliau. Ya, beliau sedang pulang ke tanah air untuk sementara waktu, tidak lama, bahkan tidak sampai sebulan lalu kembali lagi ke Australia.

Saat saat berkunjung kerumahnya, ternyata sudah ada tamu dari rekan mahasiswa satu fakultas. Selalu ada tamu di rumah beliau. Rumah beliau memang sering didatangi mahasiswa (lebih sering). Berdiskusi, bercerita sana sini, apapun yang bisa di obrolkan. Obrolan dirumah itu selalu mengandung manfaat besar, mendapat sesuatu yang baru. Nyatanya, tamu yaitu mahasiswanya pun bisa dibilang lebih sering menyimak apa yang beliau ceritakan, menjawab apa yang mahasiswanya tanyakan. Tetap kami berdiskusi. Saat itu ada Nasrun,dan kawan-kawan pergerakan dari PMII. Saya datang ketika mereka semua sedang membahas suatu topik. Tentang filsafat, dan studi agama. Diskusi dengan kopi dari beliau dan suguhan cemilan entah itu khas darimana, beliau bilang, “nih git, oleh-oleh dari Lebanon.” Saya amati, loh kok kaya dodol ada kacang hijau gitu. Saya ambil satu cemilan tersebut untuk mencicipinya, dan enak tapi gak doyan. Lidah ndeso. hhe

Suasana kembali ke ritme awal, melanjutkan obrolan mereka sejak awal. Dan saya masih menyimak. Pak Fadil masih menjelaskan tentang agama. Mengapa studi agama itu masih ada? Apa yang dikaji? Beliau menjawab, dengan pernyataan pertanyaan. Jika agama masih dipakai dalam studi? Apa yang dikaji. Kebenaran apa yang dicari? Mengapa harus ada? Untuk apa?

Berbicara soal agama, banyak hal yang diuraikan beliau. Jika agama sebagai objek? Kemudian beliau melakukan perbandingan dengan sebuah “taik” sebagai objek. Agama itu bersifat kontekstual. Tuhan, jangan dimaterikan. Pembuktiannya? Jika tuhan ada bentuk materinya? Lalu apa yang dikaji? Oh yaudah, gitu kan bentuknya, terus?

Ya, agama adalah sebuah doktrin. Agama adalah sebuah keyakinan yang urusan personal yang dijadikan sebagai alat eksistensi. Jika studi agama masih ada? Lalu produk dari studi agama itu sendiri apa? bagaimana dengan ‘taik’ tadi? Jika ‘taik’ itu dijadikan studi yang lebih penting dikaji? banyak temuan menarik yang bisa dikaji dari taik.

Kemudian, benda-benda seperti korek api. Itu adalah produk dari filsafat. Lalu agama? Misal islam dengan segala ajaran warisan pengetahuannya. Mengapa korek baru bisa ada jaman sekarang dengan bentuk yang begitu memudahkan manusia? itulah produk dari filsafat. Ditinjau dari segi ekonomi, korek ya ada, dari segi politik ya ada, dari segi teknik ya ada juga, dan macam-macam. Sama juga seperti partai politik. Mungkin banyak yang tidak suka dengan parpol. Barangkali mungkin ada ungkapan dari kalian seperti ini "ah,mending gak usah ada partai, gak memberikan sesuatu yang besar, perannya cuma bikin rakyat bingung, kadernya oportunis dan machiavelis. Sarang koruptor. Lalu? bubarkan! 

Salah! Bagaimana pun juga, sebobrok apapun partai yang ada di Indonesia ini, ya mereka tetap harus ada. Sistem pemerintahan kita parlementer. Partai politik ada juga untuk kebangkitan lokal, keterwakilan aspirasi. Sama seperti analogi korek api juga. Sebelum menjadi korek api yang modern, tinggal pencet terus nyala apinya, yaitu api yang dimunculkan dari batu. Fungsinya penting kan. Biarpun itu korek api modern macam cricket walau rusak, korek api itu bisa nyala harus dengan bantuan percikan api yang lain. Intinya tetap bisa digunakan dan berfungsi. Partai politik juga tetap ada positifnya.

Agama (islam) dalam ajarannya, pun juga sekedar kontekstual. Tapi tidak relevan. Misal, puasa. Apa iya itu bisa diterapkan di negara-negara bagian utara? Yang bisa diketahui matahari bisa dua bulan ada terus, dua bulan berikutnya gelap terus. Bahwa puasa, dimulai dari terbit fajar, hingga terbenam matahari. Lalu? Apa iya manusia bisa di alaska bisa hidup menjalankan perintah agama islam? Tidak kan.

Lalu? Produk dari studi pemikiran agama itu apa?

Ada contoh menarik lagi, yaitu “apakah diperbolehkan sholat sambil megang manuk?”, jawabnya salah toh (menurut rukun sholat). Kemudian, 1+1=2, bagaimana dengan 1+1=3 ? ya salah juga. Tapi substansi salahnya itu berbeda. Barangkali bicara baik benar itu bisa beda arti/makna seperti baik buruk. Nah, makanya, mengapa filsafat tidak bisa disatukan dengan agama. Filsafat ada, untuk melakukan pencarian. Tapi kalo agama untuk kebenaran.

Masih banyak yang gak bisa saya uraikan, dan intinya, saya belajar lagi sesuatu hal, dan saya masih selalu merasa bodoh setiap pulang berkunjung dari rumah beliau. Bagaimana dengan kalian?

Disana & Disini

Arsip Celotehan Confianza. Melisa dan Gita.

Hujan. Meruya Ilir Raya
21 Desember 2012, 14.15

Mataku tertuju pada satu bidang yang transparan, menuju sebuah jalan yang basah dan akan terus basah. Kemarin, hari ini, di jam yang sama, tempat yang sama. Seperti ada membran menyelubungiku disini, berbatasan dengan bidang transparan itu, dan membran yang ke-2 muncul lagi, berbatasan dengan jalan, mesin, asap, bising, manusia sibuk dengan mata-mata menerawang, entah berpikir alasan hujan, menghitung bulan hingga kemarau datang, menghitung barang dagangan, mengingat keluarga, kosong memperhatikan hujan, tersenyum diantara kelabunya awan, kedinginan, dan mata-mata lain yang mungkin hilang bersamaan dengan lewatnya mereka di depan mataku.

Ruang ini, aku hanya butuh teman, bicara kesana-kemari, bau kopi, renyahnya tawa, tapi siapa yang tau isi hati masing-masing.

Tahukah dimana pikiranku berada? Di suaramu, gelisahmu, kata-kata datar darimu, tertawa terpaksa, dan aku mulai tahu. Aku, disini bersamaan dengan semua deskripsi mataku.dan kamu disana dengan segala pemikiran dan rasa bosanmu mungkin.

Kesimpulannya, aku rasakan perubahan. Seperti awan yang sekarang berubah jadi lebih gelap. Dan aku tetap ditempatku, berharap awan itu segera cerah. Kamu juga..semoga segera cerah, seperti biasa :)

Hujan. Arjosari.
21 Desember 2012, 14.59

Film 2012 menjadi pengantar tidurku, padahal film tersebut sudah ada 2 tahun sebelum prediksi yang diluncurkan oleh banyak orang terkait badai matahari, kemudian dikuatkan lagi oleh hitungan kalender menurut suku maya. Film tersebut diputar oleh salah satu stasiun tv dengan program acara terbanyak.

Setelah terbangun dari tidur pagi, mataku masih menangkap sesuatu keadaan dengan baik. Indera kulitku juga menangkap hangatnya sinar matahari yang membangunkanku, bahwa hari berjalan seperti biasanya. Padahal sekarang adalah musim hujan.

Kehidupan terus berjalan, roda waktu terus berputar dengan segala macam perubahan yang terjadi. Manusia, tentu harus jeli menangkap pertanda dan perubahan yang terjadi.

Tak terasa tahun akan segera berganti, hujan selalu menjadi pengantar perubahan bumi. Bersyukur, ketika hujan turun, sang pencipta alam semesta masih memberikan kehidupan bagi bumi, banyak rezeki, dan persepsi lainnya yang baik ketika hujan turun.

Ketika hujan turun, pasti selalu ada beberapa detik yang membuat kita terdiam, merenung, berpikir. Seperti dirimu yang mungkin sedang menerawang teka-teki kehidupan, perasaan atau lainnya. Berteduh, memandangi hujan, setidaknya itu ritual untuk menghormati hujan.

Hampir sama seperti adzan. Setelah hujan berhenti, kerumunan manusia keluar dari tempat berteduhnya masing-masing. Melanjutkan aktivitasnya kembali, sekaligus berusaha menyelesaikan pekerjaan yang tertunda atau mimpi kecil yang belum terwujud.

Sunday, March 31, 2013

Fasilitas umum tanpa diskriminasi. Kartunet Kampanye Aksesibilitas tanpa Batas

Fasilitas umum harus ramah dan nyaman. 

Pada kesempatan kali ini portal berita Kartunet News  mengajak untuk berkampanye pada fasilitas publik yang aksesibel tanpa batas bagi penyandang disabilitas. Dan kampanye ini juga berkerjasama dengan perusahaan telekomunikasi ternama yaitu XL Axiata 

                        


Penyandang cacat harus memiliki akses yang sama dengan manusia normal lainnya dan tidak boleh di diskriminasi. Itu poin pentingnya sih.

Fasilitas publik yang jauh dari nyaman? Hmm..menurut saya itu mengerikan ya. Sebelumnya saya ingin membagi menjadi dua, ada fasilitas publik untuk dalam ruangan, dan ada fasilitas publik untuk di dalam ruangan. Untuk saat ini fasilitas publik di luar ruangan, merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan, karena mengapa? Karena fasilitas publik yang berada diluar ruangan masih belum aksesibel dan nyaman. Kondisi tersebut pun dirasakan oleh manusia normal (tidak cacat), apalagi untuk penyandang disabilitas? Lebih ironis lagi. Fasilitas di dalam ruangan di tempat umum, seperti toilet, lift,dll sudah cukup aksesibel. Tapi untuk yang diluar ruangan masih belum. Sepertinya begitu. Jika saya mengandaikan sebagai penyandang disabilitas, maka saya menjadi manusia yang diminta untuk tidak mandiri oleh pemerintah. Sungguh sulit di posisi sebagai penyandang disabilitas untuk mengharapkan fasilitas publik yang bisa aksesibel bagi mereka. Tak hanya fasilitas publik, tapi akses di bidang lainnya mungkin. Sulit.

Kondisi fisik yang tidak sempurna, tentu menjadi suatu hambatan bagi diri sendiri. Kita tak tahu kapan, ketika kita menghadapi suatu musibah untuk menjadi cacat. Namun kita harus siap akan hal itu.  Dan pemerintah juga harus siap, mengatasi permasalahan tersebut yang terjadi pada warga negaranya. Penyandang disabilitas di Indonesia cukup banyak. Namun, tentunya jika saya sebagai penyandang disabilitas, bukan berarti lalu putus asa begitu saja, begitupun dengan mereka. Saya dan mereka harus bisa tetap mandiri untuk bisa bertahan hidup dan mengurusi diri sendiri. Ini merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat akan kepedulian pada para penyandang disabilitas. Mereka juga manusia, mereka orang yang dari normal kemudian cacat atau mereka yang lahir dari ketidaksempurnaan fisik, punya hak untuk hidup.

Salah satu fasilitas publik yang harus aksesibel bagi penyandang disabilitas adalah transportasi umum. Hal itu menjadi penting ketika mereka berpergian. Pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengunjungi suatu lokasi yang ingin mereka ketahui atau tempat dimana mereka bekerja atau mengenyam pendidikan. Angkutan umum di tempat tinggal saya yaitu Kota Malang, masih belum bisa memberikan akses yang baik dan nyaman. Angkutan umum dengan tipe mobil carry itu tentu menyulitkan bagi penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Bagaimana dia bisa naik dengan sendiri? Alhamdulillah, kepedulian masih ada di masyarakat, yaitu dengan membantu mereka yaitu penyandang disabilitas naik ke angkutan umum. Kemudian ketika mereka sudah turun dari angkutan umum, hal penting lainnya adalah trotoar. Nah, untuk trotoar di kota saya, sudah cukup aksesibel namun belum menyeluruh. Malang telah memugar trotoar di beberapa ruas jalan, yang tadinya paving blok sekarang udah engga lagi. Pokoknya lebih nyaman dan ramah. Jika di prosentase untuk trotoar dan aksesibel untuk penyandang disabilitas sekitar 50% lah. Lumayan loh. 

Karena saya masih berstatus mahasiswa di Universitas Brawijaya, saya ingin menyampaikan perihal fasilitas publik penyandang disabilitas di dunia pendidikan. Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas di kampus saya sudah cukup aksesibel untuk beberapa jenis penyandang disabilitas. Mengapa bisa demikian? Karena Universitas Brawijaya, menjadi salah satu Universitas yang mempelopori menerima mahasiswa disabilitas tahun 2012 lalu. Selain itu di Universitas Brawijaya juga memiliki PSLD (Pusat Studi& Layanan Disabilitas). Mereka yang penyandang disabilitas berkuliah dicampur dengan satu kelas mahasiswa dengan fisik yang normal. Namun, fasilitas umum bagi penyandang disabilitas memang masih belum sempurna dan terus dikembangkan. Diantaranya adalah fasilitas umum bagi penyandang disabilitas adalah jalan khusus (bukan beranak tangga) bagi penyandang disabilitas, agar mereka masuk ke gedung fakultasnya. Trotoar di area Universitas Brawijaya sudah sangat nyaman dan ramah. Lift juga sudah ada dibeberapa fakultas. Toilet juga disediakan khusus bagi penyandang disabilitas. Fasilitas pendidikan, huruf braille, dan alat bantu dengar juga ada. Tenaga pengajar juga sudah dibekali kemampuan untuk bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tuna rungu, tuna wicara. Dan juga tenaga pendamping (sifatnya sukarela, kebanyakan dari mahasiswa melalui proses open recruitment) yang selalu mendampingi mereka ketika mereka berada di area kampus. Fungsinya sebagai pendamping adalah jika mereka ada kesulitan dalam menangkap pelajaran dan membantu kesulitan lainnya yang perlu dibantu. Begitulah sekilas gambaran aksesibilitas fasilitas umum untuk disabilitas.







Infrastruktur fasilitas umum bagi penyandang disabilitas nampaknya masih di beberapa tempat tertentu saja. Seperti yang saya ketahui juga, yaitu di Kota Batu. Melihat alun-alun Kota Batu sekarang memang cantik sekali. Begitu nyaman dan bersih. Begitupun juga nyaman dan ramah infrastrukturnya bagi penyandang disabilitas. Namun, infrastruktur paling ramah bagi penyandang disabilitas di Kota Batu ya di Taman Kota/ Alun-alun Batu. Sekali lagi, jika saya sebagai penyandang disabilitas saya mengharapkan fasilitas umum yang universal. Mungkin juga universal traveling bagi penyandang disabilitas. Ini menyangkut hal fasilitas umum juga kan, coba kita amati, apakah lokasi wisata keindahan alam sudah ramah bagi penyandang disabilitas? Mereka juga berhak untuk menikmati keindahan surga dunia walaupun buta, bagi tuna daksa mereka berhak untuk melintasi jalan demi sebuah pemandangan yang bikin speechless, bagi tuna netra, mereka berhak menikmati aroma/udara keindahan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka berhak tanpa ada terkecuali untuk di diskriminasikan. Penyandang disabilitas bisa bersaing, kita tak boleh takut untuk bersaing dengan mereka, mereka bisa mandiri, maka dari itu berikan hak yang sama bagi para penyandang disabilitas.

Friday, March 29, 2013

Dunia Semakin Maya


Hal yang selalu membuat gue menganga adalah ketika mengunjungi portal berita detik[dot]com di rubrik detikinet. Untuk media online berita gue emang biasa baca detik[dot]com. Di rubrik detikinet ini gue melihat perkembangan teknologi begitu cepat berkembang. Selalu ada hal baru yang diciptakan, selalu ada produk baru yang siap dipasarkan, selalu ada imajinasi baru soal gadget tersebut karena aneh dan kagum. Selalu ada iklan produk gadget baru yang menambah hasrat untuk segera memilikinya. Salah satu produk  Google yang terbaru yaitu eye glasses nya. Kereeeen! Canggih!

Benar-benar hebat! Jujur gue suka kecanggihan teknologi. Apalagi bisa punya gadget keren yang gue inginkan. Tanpa ada rasa panik. Tanpa ada rasa kecewa. Tapi ketika motivasi itu udah ada, kuasa materi gak mendukung, apa yang bisa diperbuat?Hmm. Btw, beneran, gue belum bisa memiliki gadget yang gue inginkan sampai sekarang ini. Produknya Apple. Semuanya. Hhehe. Tapi, gue punya gadget (mobile phone) yang tidak begitu keren, tapi sistemnya itu menunjang untuk melakukan komunikasi berjejaring yang luas. Gue pakai Xperia. Setiap gadget yang diciptakan jelas menimbulkan perbedaan kelas. Buktinya? Handphone yang gue beli setahun lalu pakai uang sendiri, udah gitu belinya nyicil pula. Hmm. Nah, itu dia, “nyicil”. Ini kekuatan iklan, produknya, kepanikan individu yang menuntut untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman? Hal yang menakutkan kah jika kita tidak bisa menjalani hidup dengan berbeda? Jelas menakutkan. Jujur, gue akui kalau engga mengikuti malah menjadi manusia yang tertinggal. Memiliki gadget canggih, ataupun engga canggih, yang jelas untuk komunikasi berjejaring. Informasi begitu mudah didapat dengan cepat melalui internet. Bisa menembus ruang,waktu, tempat dalam sekian detik. Kita bisa lebih kreatif dengan produk teknologi yang ada dan fitur-fitur yang disediakan, dan lain-lainnya. Menghabiskan peran hanya untuk gadget dan dalam dunia digital/dunia maya, sudah menjadi kebiasaan akrab kita. Distribusi informasi, gali informasi, jalin pertemanan silaturahmi, membuat janji untuk ketemuan, dan lain-lain ya kebanyakan via mobile phone, internet. Sudah jarang lewat surat, walapun masih ada. Lama dan gak efisien.

Layar mini menjadi tempat ternyaman “berjalan-jalan”. Bahkan sebagai tempat untuk melarikan diri yang asyik. Mengembara. Merinci untuk melaporkan kegiatan kehidupan sehari-harinya tanpa diminta atau sekedar untuk menemukan pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman baru yang menjadi konkret pastinya. Atau kadang menjadi ikutan gerah dan asyik terjebak dalam rumor yang ramai diperbincangkan di dunia maya. Menjadi lebih gaul dan populer berinteraksi lewat dunia maya. Dan gue loyal sama kondisi itu. Demi kepentingan pribadi pastinya, dan budaya populer yang dominan sehingga gue gak bisa mengelaknya. Teramat banyak menemukan hal seperti itu gak hanya gue aja.

Kehidupan sehari-hari lebih dibentuk oleh praktik-praktik budaya populer. Dan kita gak bisa menolak itu kan? Dan kita senang pada hal itu kan?  


Thursday, March 28, 2013

Menyenangi Pancasila


Pada kenyataannya budaya adalah sesuatu yang hidup dan aktif berkembang, namun kenapa ideologi, yaitu Pancasila tidak begitu hidup dan aktif? Subyektif saya melihatnya demikian, saya pun juga merasakan demikian. Pancasila bukan menjadi konsumsi yang sedap untuk dilahap, diingat, apalagi diimpelementasikan nilai-nilainya.

Pengaruh yang paling besar adalah budaya. Budaya Populer sangat mempengaruhi kemungkinan terjadi perubahan sosial di masyarakat. Globalisasi menyerang dalam bidang politik, dan juga kultur sampai dengan gaya hidup yang paling sederhana. Tidak melulu sesuatu yang dari luar itu buruk, namun tergantung dari masyarakatnya yang bisa menyaring atau tidak. Sehingga tidak sampai terjerumus dalam proses ‘meminggirkan dan menghilangkan’ jati diri bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila masih belum menjadi sesuatu yang asing, kita masih sadar sama Pancasila kok, tetapi implementasi nilai-nilai Pancasilanya itu yang punah dan belum populer prakteknya. Dalam kondisi yang seperti ini, Pancasila harus mendapat perhatian penuh dan harus disadari oleh masyarakatnya. Pancasila sebagai pedoman hidup seperti kitab suci.


Penyair Jerman Goethe berkata, “orang yang tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya”. Goethe menjelaskan bahwa, dia tidak ingin kamu berakhir dengan keadaan yang begitu menyedihkan. Kemudian Goethe ingin melakukan apa yang dapat ia lakukan untuk memperkenalkanmu dengan akar sejarahmu. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Bung Karno pernah berkata yang populer dengan istilah ‘Jasmerah’ yang kepanjangannya adalah Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Mungkin cita rasa akan sejarah Indonesia dan  dasar negaranya yaitu Pancasila sudah tidak sedap untuk disantap, seperti makanan cepat saji (junk food) yang kini digemari masyarakat. Pengaruh budaya sangat besar, seperti makanan. Pada akhirnya kita sendiri yang menghendaki untuk menyesuaikan praktik budaya yang lagi tren dan sesuai dengan kondisi serba modern saat ini.


Jika saya tidak salah baca, bahwa negara tetangga kita yaitu Malaysia ingin menggunakan ideologi Pancasila. Wow! Itu artinya, Pancasila sudah begitu istimewanya di mata negara lain hingga ingin digunakan. Keren! Tapi kok kita tidak geram? Perseteruan dengan Malaysia tidak hanya berhenti di penyerangan di sektor budaya, kepulauan Indonesia, tetapi juga masuk dalam Ideologi negara yang ingin di ambil juga.


Dari beberapa kasus yang sudah pernah ada di negara kita, dari bidang sosial,politik hukum,dll. secara sederhana itu menandakan kita sebagai orang yang lemah. Kehidupan, dan waktu terus berjalan, kemudian budaya juga terus berproses tumbuh hidup berkembang. Mengapa tidak belajar dari pengalaman dan belajar apa yang dikatakan Goethe? Subyektif saya melihat, kita menyenangi sesuatu yang populer. Tren yang populer, gaya hidup populer, dan bahasa yang populer. Khususnya anak muda. Panca indera ketika masih remaja memang begitu asyik untuk menerima hal yang demikian, karena menghasilkan kesenangan. 


Pancasila harus menjadi komoditas yang menyenangkan. Pancasila harus bisa disalurkan menjadi gaya hidup yang bisa memengaruhi generasi muda. Gak sekedar cuma doktrin atau wacana. Tapi bisa ditonton dan dipertunjukkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.