Tuesday, April 30, 2013

Thursday, April 25, 2013

Tuntaskan

Presiden Mahasiswa Universitas Brawijaya baru terpilih yaitu Rizky Kurniawan sempat melakukan tindakan yang heroik dan berani sekaligus mengingatkan kembali memori kita semua untuk melawan lupa pada kasus lumpur lapindo. Saat itu ketika Aburizal Bakrie datang ke Universitas Brawijaya untuk mengisi kuliah tamu kewirausahaan pada hari Jumat Pekan lalu. Aburizal mendapat kado istimewa dari Presiden mahasiswa UB sebuah lumpur pada sesi acara kuliah tamu. Sebagai simbolis, lumpur tersebut kembali mengingatkan pada ketum partai berlambang pohon beringin ini untuk segera menuntaskan permasalahan kasusnya yang sudah menginjak 7 tahun belum selesai tersebut. Selama 7 tahun pula semburan lumpur lapindo tak kunjung berhenti. Tragedi lumpur lapindo melahirkan dampak negatif yang hebat. Menenggelamkan harapan hidup orang banyak, menenggelamkan sebagian perekonomian, menenggelamkan sosial budaya yang tadinya tumbuh sehat, menenggelamkan infrastruktur pendidikan dan menenggelamkan keadilan hukum Indonesia juga atas perbuatannya. Gila!

Ribuan penduduk sipil diungsikan, puluhan pabrik terpaksa harus berhenti beroperasi, otomatis lahir ribuan  pengangguran, areal pertanian berhektar-hektar ludes, dan kerusakan lingkungan akibat dari bencana tersebut yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Sudah 7 tahun semburan lumpur lapindo memberikan penderitaan bagi rakyat sipil dan negara. Pada kenyataannya, negara yang harus memikul bencana lumpur lapindo tersebut. Penanganan korban dan penuntasan ganti rugi kepada rakyat sipil yang menjadi korban semburan lumpur pun juga tak kunjung selesai selama 7 tahun ini. Menurut Kerusakan yang terjadi menjadi social cost akibat pengeboran minyak yang gagal tersebut, ini menjadi tanggung jawab jangka panjang oleh negara. Peristiwa ini juga menyita perhatian secara nasional bahkan luar negeri. Bersyukur, kita masih punya aktivis, beberapa elemen LSM yang terus berjuang dengan gigih untuk memperjuangkan keadilan demi kepentingan hidup orang banyak sama juga seperti aksi sederhana dari Presiden mahasiswa UB yang mengingatkan secara simbolis tersebut. Sekedar mengingatkan saja sudah cukup, lebih dari itu malah lebih baik. Cukup mencerminkan masih punya sisi etis manusia, sebagai makhluk yang mempunyai hati nurani sekaligus sebagai pemimpin dan mahasiswa yang punya label agent of change

Hukum di Indonesia, kalau kita perhatikan selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan. Kepastian hukum bisa diatur oleh orang yang memiliki kekuasaan. Prihatin, pakai sinis juga sih. Tapi itulah kenyataannya. Bahwa hukum telah dipelintir oleh kekuasaan politik. Engga heran juga. Sehingga, peristiwa lumpur lapindo masuk dalam kategori bencana alam. Perusahan besar selalu dekat dekat dengan kekuasaan dan negara, apalagi perusahaan perminyakan. Padahal secara ilmiah, gagalnya eksplorasi minyak&gas tersebut bukan akibat dari bencana alam (gempa,red), hal tersebut ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan pertambangan internasional. Seharusnya, pihak PT.Lapindo lah yang harus bertanggung jawab penuh dalam peristiwa tersebut. Menjengkelkan rasanya, negara yang harus menanggung triliunan rupiah akibat ulah kelalaian korporasi dan kepastian hukum yang belum adil. Everday politics, uh! Everyday politics terus pemberitaannya. Pemberitaan perkelahian dan konflik internal, ribut-ribut parpol, DPR,dll. Oke, mungkin itu diskusi sampai debat hebat dan kerja mereka ditampilkan untuk rakyat. Tapi,  kerja dan perilaku politik mereka yang gaduh membuat bingung masyarakat. Jangan heran, kalau pemberitaan pada daerah seperti Indonesia bagian timur seperti Papua kurang, kok kasihan ya di daerah timur sana, tak hanya timur, tapi hampir semuanya. Apalagi kisah terbaru tentang Tasripin, yang juga tampil di layar tv, cukup trending topic kok, Tasripin ialah seorang bocah yang harus menghidupi ketiga adik-adiknya tanpa orang tua. Mana tuh si kuning golongan karya? orang-orang yang berkarya untuk negeri? Oh mungkin karyanya adalah ‘janji’ doang. Negeri ini banyak tayangan pelestarian kemiskinan dan ketidakadilan ih. 

Masih ingat Hari Suwandi salah satu korban lumpur lapindo? Ya, dia salah satu korban lumpur lapindo yang melakukan aksi heroiknya dengan berjalan kaki seorang diri dari Porong menuju Jakarta.Namun, sayang hasilnya adalah ia berkhianat saat live wawancara di media yaitu Tv One milik grup Bakrie. Negeri ini begitu mengkhawatirkan ya. Uang menjadi raja, manusia dikuasai benda itu. Hanya demi uang yang dijanjikan 5 juta perbulan, Hari Suwandi  abaikan amanah dan harapan mewakili dari banyaknya korban lumpur lapindo. Sama aja, dia cuma janji, gak jauh beda kan sama orang-orang yang itu tanda kutip. Ini potret nyata yang bukan terjadi di orang-orang senayan atau pejabat lainnya. Tapi manusia yang mencoba untuk menjadi pahlawan, tapi jegleg di tengah jalan. Ada apa dengan hati nurani? Konslet? Mungkin iya. Niat dan aksi aja juga gak cukup. Loh terus aksi jalan kaki yang sudah dilakukannya? Bisa saja narsis, bisa saja manis dimulut dan keberanian fisik, tapi secara moral, nihil. Permainan kotor dibalik layar dari media. Semua bisa dihalalkan dengan segala cara demi kepentingan medianya. Hari Suwandi pun demikian, serakah. Membuat pernyataan yang mengecewakan harapan banyak orang, korban lumpur lapindo. Lucu! Individualisme! Makanya gak heran sekarang klo agak skeptis dengan dunia aktivis, skeptis juga sama dunia parlemen, dengan mudah banyak yang menjadi oportunis. 

Pahit memang harus menerima kenyataan ini. Sebagai korban lumpur lapindo, mereka tak punya kekuatan besar. Lalu apa yang bisa mereka perbuat? Tidak ada. Mereka cuma punya cerita dan harapan yang dimana beberapa elemen masyarakat lainnya bisa tergerak untuk membantu menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan tersebut.  Cerita hanya bisa menjadi kisah yang usang, bila tak segera diselesaikan. Bagaimana mau mencapai happy ending?

Dalam akun twitternya presiden kita mengeluarkan pernyataan “Kita harus mendorong investasi dan bisnis di Indonesia,tapi rakyat harus menjadi tuan rumah di negeri nya sendiri” (Acara Thomson Reuters Newsmaker di Singapura). Nyatanya, emang rakyat memang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, tapi tuan rumah yang pura-pura. Terus yang tuan rumah siap? Siapalagi kalau bukan si penerima tamu itu, ya wakil tuan rumah itu. Mungkin, yang penting everyday politics, everyday proyek, everyday rapat, everyday pembangunan, everyday korupsi, everyday, tapi rakyat punya every thursday yaitu acara kamisan di depan istana negara jakarta sebagai bentuk propaganda kampanye penegakan HAM.

Persoalan lumpur Lapindo tidak hanya sebatas ganti rugi aset warga, habis itu sudah, habis itu selesai. Banyak persoalan yang harus diperhatikan, masalah kerusakan lingkungan, air bersih disana, kesehatan, pendidikan untuk anak-anak, dan tatanan sosial masyarakat. Hal tersebut harus dikembalikan lagi, itu aset mereka dan hak mereka.  Apakah mungkin keadilan,hak mereka bisa didapat? Mungkin saja bisa, seungguhnya yang dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial - kepedulian dan rasa tanggung jawab antara warga bangsa. Segera ambil peran kawan!

Sunday, April 14, 2013

How to Write Fiction by Ernest Hemingway

I found  this article from http://www.stumbleupon.com I think Hemingway's writing style is so useful, I would like to spread it on my blog. Article writer is Mike Springer. Happy reading, guys. Enjoy!

Seven Tips From Ernest Hemingway

Before he was a big game hunter, before he was a deep-sea fisherman, Ernest Hemingway was a craftsman who would rise very early in the morning and write. His best stories are masterpieces of the modern era, and his prose style is one of the most influential of the 20th century.


Hemingway never wrote a treatise on the art of writing fiction.  He did, however, leave behind a great many passages in letters, articles and books with opinions and advice on writing. Some of the best of those were assembled in 1984 by Larry W. Phillips into a book, Ernest Hemingway on Writing. We’ve selected seven of our favorite quotations from the book and placed them, along with our own commentary, on this page. We hope you will all–writers and readers alike–find them fascinating.

1: To get started, write one true sentence.

Hemingway had a simple trick for overcoming writer’s block. In a memorable passage in A Moveable Feast, he writes:

Sometimes when I was starting a new story and I could not get it going, I would sit in front of the fire and squeeze the peel of the little oranges into the edge of the flame and watch the sputter of blue that they made. I would stand and look out over the roofs of Paris and think, “Do not worry. You have always written before and you will write now. All you have to do is write one true sentence. Write the truest sentence that you know.” So finally I would write one true sentence, and then go on from there. It was easy then because there was always one true sentence that I knew or had seen or had heard someone say. If I started to write elaborately, or like someone introducing or presenting something, I found that I could cut that scrollwork or ornament out and throw it away and start with the first true simple declarative sentence I had written.

2: Always stop for the day while you still know what will happen next.

There is a difference between stopping and foundering. To make steady progress, having a daily word-count quota was far less important to Hemingway than making sure he never emptied the well of his imagination. In an October 1935 article in Esquire “Monologue to the Maestro: A High Seas Letter”) Hemingway offers this advice to a young writer:

The best way is always to stop when you are going good and when you know what will happen next. If you do that every day when you are writing a novel you will never be stuck. That is the most valuable thing I can tell you so try to remember it.

3: Never think about the story when you’re not working.

Building on his previous advice, Hemingway says never to think about a story you are working on before you begin again the next day. “That way your subconscious will work on it all the time,” he writes in theEsquire piece. “But if you think about it consciously or worry about it you will kill it and your brain will be tired before you start.” He goes into more detail in A Moveable Feast:

When I was writing, it was necessary for me to read after I had written. If you kept thinking about it, you would lose the thing you were writing before you could go on with it the next day. It was necessary to get exercise, to be tired in the body, and it was very good to make love with whom you loved. That was better than anything. But afterwards, when you were empty, it was necessary to read in order not to think or worry about your work until you could do it again. I had learned already never to empty the well of my writing, but always to stop when there was still something there in the deep part of the well, and let it refill at night from the springs that fed it.

4: When it’s time to work again, always start by reading what you’ve written so far.

T0 maintain continuity, Hemingway made a habit of reading over what he had already written before going further. In the 1935 Esquire article, he writes:

The best way is to read it all every day from the start, correcting as you go along, then go on from where you stopped the day before. When it gets so long that you can’t do this every day read back two or three chapters each day; then each week read it all from the start. That’s how you make it all of one piece.

5: Don’t describe an emotion–make it.

Close observation of life is critical to good writing, said Hemingway. The key is to not only watch and listen closely to external events, but to also notice any emotion stirred in you by the events and then trace back and identify precisely what it was that caused the emotion. If you can identify the concrete action or sensation that caused the emotion and present it accurately and fully rounded in your story, your readers should feel the same emotion. In Death in the Afternoon, Hemingway writes about his early struggle to master this:

I was trying to write then and I found the greatest difficulty, aside from knowing truly what you really felt, rather than what you were supposed to feel, and had been taught to feel, was to put down what really happened in action; what the actual things were which produced the emotion that you experienced. In writing for a newspaper you told what happened and, with one trick and another, you communicated the emotion aided by the element of timeliness which gives a certain emotion to any account of something that has happened on that day; but the real thing, the sequence of motion and fact which made the emotion and which would be as valid in a year or in ten years or, with luck and if you stated it purely enough, always, was beyond me and I was working very hard to get it.

6: Use a pencil.

Hemingway often used a typewriter when composing letters or magazine pieces, but for serious work he preferred a pencil. In the Esquire article (which shows signs of having been written on a typewriter) Hemingway says:

When you start to write you get all the kick and the reader gets none. So you might as well use a typewriter because it is that much easier and you enjoy it that much more. After you learn to write your whole object is to convey everything, every sensation, sight, feeling, place and emotion to the reader. To do this you have to work over what you write. If you write with a pencil you get three different sights at it to see if the reader is getting what you want him to. First when you read it over; then when it is typed you get another chance to improve it, and again in the proof. Writing it first in pencil gives you one-third more chance to improve it. That is .333 which is a damned good average for a hitter. It also keeps it fluid longer so you can better it easier.

7: Be Brief.

Hemingway was contemptuous of writers who, as he put it, “never learned how to say no to a typewriter.” In a 1945 letter to his editor, Maxwell Perkins, Hemingway writes:

It wasn’t by accident that the Gettysburg address was so short. The laws of prose writing are as immutable as those of flight, of mathematics, of physics.

Related content:

Kisah Perubahan


Setiap zaman memiliki prestasi masing-masing. Karena setiap zaman selalu ada perbedaan karya. Dan karya itu harus di apresiasi bagaimanapun juga. Karya yang lahir itu merupakan hasil dari sebuah kerja keras. Ada kerjasama disitu. Bisa juga individual. Namun konteks kali ini adalah karya dari team work. Setiap generasi memiliki bibit-bibit manusia yang berbeda. Secara luas. Baik itu berkualitas dan tidak. Namun, jika team work itu bisa bekerja dengan baik, maka bibit yang tidak berkualitas pun menjadi unggul. Yang sudah berkualitas akan makin unggul. Berdasarkan pengamatan, regenerasi tiap tahun selalu mengalami perkembangan baik. Setidaknya, saya menyambut senang dengan kenyataan tersebut. Walau masih ada kekurangan.

Bukan berarti mereka pantas untuk bisa sombong, tetapi mereka layak untuk dihargai, dihormati. Saya akui itu. Ini bukan kerja atas satu individu, tetapi banyak orang di kepengurusannya. Kepemimpinan seseorang memegang peranan penting dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya. Ini mutlak bukan hasil dari kepemimpinan satu orang. Ingat ya! Pahamilah juga tentu seorang pemimpin pasti memerlukan bantuan dari bawahannya, dan perlu berhati-hati juga pada bawahan, karena mereka punya kekuatan besar juga untuk menjatuhkan seorang pemimpin. Ya, ini hasil dari kepemimpinan dari setiap pemimpin divisi dan setiap orang-orang didalamnya yang memiliki jiwa kempemimpinan cukup matang. Semua saling melakukan pembelajaran, dan saling berbagi ilmu. Cukup solid, tapi tidak kuat dan hebat. Mereka cukup eksis tapi tidak greget. Tapi kepengurusan mereka membuat saya gregetan, envy pokoknya. Tiap zaman sepertinya juga begitu, ada saja hal yang membuat iri. Wajar. Tapi ada prestasi juga yang tidak bisa dikalahkan di tiap generasi. Lucu, tapi kenyataan. 

Ada pepatah yang mengatakan, meraih kejayaan itu bisa saja, tapi untuk mempertahankannya itu yang tidak mudah. Ada hasil perjuangan yang harus diteruskan di generasi berikutnya, ada prestasi yang harus dipertahankan agar tidak hancur organisasi tersebut. Ada sanksi moral yang harus dipertanggungjawabkan pada masa depan generasi berikutnya. Itu masih saya lakukan, begitupun dengan orang-orang hebat (orang-orang jadul pun, diatas saya) yang sudah selesai mengabdi di organisasinya, tetapi masih terus mengawal perkembangan organisasi yang pernah mereka geluti. Tidak salah bahwa inilah yang dinamakan sebuah keterikatan keluarga besar organisasi. Ada tali silaturahmi yang terus hidup, ada ruh organisasi yang masih bersemayam di jiwa para alumninya. Ada rasa kebersamaan, dan romantisme konflik di zamannya yang membuat menjadi terikat dan tidak bisa lepas. Tentunya hanya beberapa orang saja. Tidak perlu semuanya. Ini ke sukarelaan, kepeduliaan dari seorang alumni kepada pahlawan organisasi yang sedang berjuang. Layaknya seperti kemerdekaan Negara republic Indonesia, kita harus terus mengawal dan mempertahankan almamater kecintaan kita. Tempat dimana kita berproses, tempat kita ditempa menjadi orang yang hebat dan bermanfaat. Memiliki sejumlah keahlian di beberapa bidang. Kaya akan wawasan pengetahuan. Insyaallah.

Ada rasa kekhawatiran dan rasa gelisah. Ketika mendengar, bahwa angkatan berikutnya belum bisa untuk dilepas, dan belum cukup untuk memimpin organisasi tersebut. Wajar. Tentu ada pertimbangan dari angkatan sebelumnya yang sekarang baru saja sudah selesai masa baktinya. Sah-sah saja. Kalau dari saya, tetap mengawal saja dan tidak mau ikut campur lebih dalam. Ada batasan yang tidak boleh dilalui. Ini regenerasi, mereka harus bisa menentukan apa yang harus dilakukan. Kami cuma sebagai orang yang mengamati lalu lintas di jalan raya, lalu ketika ada orang yang bingung, bertanya pada sebuah alamat, kami hanya memberitahu saja dimana orang tersebut harus menuju kesana. Ya seperti itu posisi kami. Ada petunjuk yang kami berikan, kami yang tahu peta. Jangan sungkan untuk bertanya. Toh tetap kalian juga kan yang memutuskannya. Silakan. Itu bebas.

Ada semacam rasa kurang percaya dari generasi sekarang pada generasi yang berikutnya. Namun, inilah dilema. Kepemimpinan berikutnya bisa dibilang akan dipegang oleh perempuan. Mayoritas memang banyak perempuan, yang berkompeten memang masih perempuan di angkatannya. Saya jadi ingat sosok almarhum Margaret Thatcher. Dia dikenal sebagai ‘iron lady’. Karena sosok kepemimpinannya yang tegas dan berani. Sempat disepelekan, karena belum pernah ada sebelumnya sosok perempuan di dalam parlemen inggris. Dengan pantang menyerah dan terus berusaha menunjukkan hasil, segala keputusan yang agak beda (tidak populer), namun semuanya bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.  Ada nilai positifnya. Margaret orang yang kekeuh, sangat berpendirian teguh apa yang diyakininya. Ada resiko yang berani dia ambil. Ada tantangan yang menjadi sumber energi motivasi untuk bisa mencapai tujuannya. Margaret Thacher berkata, “Anda mungkin harus bertarung dalam suatu pertempuran lebih dari satu kali untuk memenangkannya.” Jangan pantang menyerah dan putus asa, mungkin itu. Bukan percaya diri juga, tapi optimis. Tetapi bukan berarti harus menaruh kepercayaan diri (apalagi tinggi) takutnya malah menjadi kesombongan, arogansi yang berakibat pada kehancuran juga. ‘Jumawa’ dalam bahasa jawanya kalau tidak salah. Sudah hampir 5 periode dipimpin oleh kaum adam. Organisasi kita juga pernah dipimpin oleh perempuan. Tak sedikit banyak hal keren dari kepemimpinan perempuan. Saya enggan untuk menceritakan lebih detail, takut salah cerita, karena saya agak pelupa. Tapi bila melihat para perempuan yang pernah memimpin organisasi kita sebelumnya dengan keadaan sekarang, mereka sukses. Mungkin teman-teman tahu sedikit siapa saja yang sukses dan kita bangga memiliki alumni yang hebat.

Aku yakin, bila kita tetap mengawal perjuangan yang akan diteruskan oleh mereka, insyaallah semuanya berjalan dengan baik. Ada level berikutnya yang bisa dicapai. Terlebih, saya bangga dan salut sama generasi yang baru selesai masa baktinya, ada  banyak perubahan positif besar yang dihasilkan. Dan itu keren! Salam cinta pada kalian semua.

Monday, April 1, 2013

Konsepsi


24 Oktober 2012

Malam hari, di kediaman beliau. Saya berkunjung seorang diri, karena kangen ingin bertemu dan ngobrol bersama beliau. Ya, beliau sedang pulang ke tanah air untuk sementara waktu, tidak lama, bahkan tidak sampai sebulan lalu kembali lagi ke Australia.

Saat saat berkunjung kerumahnya, ternyata sudah ada tamu dari rekan mahasiswa satu fakultas. Selalu ada tamu di rumah beliau. Rumah beliau memang sering didatangi mahasiswa (lebih sering). Berdiskusi, bercerita sana sini, apapun yang bisa di obrolkan. Obrolan dirumah itu selalu mengandung manfaat besar, mendapat sesuatu yang baru. Nyatanya, tamu yaitu mahasiswanya pun bisa dibilang lebih sering menyimak apa yang beliau ceritakan, menjawab apa yang mahasiswanya tanyakan. Tetap kami berdiskusi. Saat itu ada Nasrun,dan kawan-kawan pergerakan dari PMII. Saya datang ketika mereka semua sedang membahas suatu topik. Tentang filsafat, dan studi agama. Diskusi dengan kopi dari beliau dan suguhan cemilan entah itu khas darimana, beliau bilang, “nih git, oleh-oleh dari Lebanon.” Saya amati, loh kok kaya dodol ada kacang hijau gitu. Saya ambil satu cemilan tersebut untuk mencicipinya, dan enak tapi gak doyan. Lidah ndeso. hhe

Suasana kembali ke ritme awal, melanjutkan obrolan mereka sejak awal. Dan saya masih menyimak. Pak Fadil masih menjelaskan tentang agama. Mengapa studi agama itu masih ada? Apa yang dikaji? Beliau menjawab, dengan pernyataan pertanyaan. Jika agama masih dipakai dalam studi? Apa yang dikaji. Kebenaran apa yang dicari? Mengapa harus ada? Untuk apa?

Berbicara soal agama, banyak hal yang diuraikan beliau. Jika agama sebagai objek? Kemudian beliau melakukan perbandingan dengan sebuah “taik” sebagai objek. Agama itu bersifat kontekstual. Tuhan, jangan dimaterikan. Pembuktiannya? Jika tuhan ada bentuk materinya? Lalu apa yang dikaji? Oh yaudah, gitu kan bentuknya, terus?

Ya, agama adalah sebuah doktrin. Agama adalah sebuah keyakinan yang urusan personal yang dijadikan sebagai alat eksistensi. Jika studi agama masih ada? Lalu produk dari studi agama itu sendiri apa? bagaimana dengan ‘taik’ tadi? Jika ‘taik’ itu dijadikan studi yang lebih penting dikaji? banyak temuan menarik yang bisa dikaji dari taik.

Kemudian, benda-benda seperti korek api. Itu adalah produk dari filsafat. Lalu agama? Misal islam dengan segala ajaran warisan pengetahuannya. Mengapa korek baru bisa ada jaman sekarang dengan bentuk yang begitu memudahkan manusia? itulah produk dari filsafat. Ditinjau dari segi ekonomi, korek ya ada, dari segi politik ya ada, dari segi teknik ya ada juga, dan macam-macam. Sama juga seperti partai politik. Mungkin banyak yang tidak suka dengan parpol. Barangkali mungkin ada ungkapan dari kalian seperti ini "ah,mending gak usah ada partai, gak memberikan sesuatu yang besar, perannya cuma bikin rakyat bingung, kadernya oportunis dan machiavelis. Sarang koruptor. Lalu? bubarkan! 

Salah! Bagaimana pun juga, sebobrok apapun partai yang ada di Indonesia ini, ya mereka tetap harus ada. Sistem pemerintahan kita parlementer. Partai politik ada juga untuk kebangkitan lokal, keterwakilan aspirasi. Sama seperti analogi korek api juga. Sebelum menjadi korek api yang modern, tinggal pencet terus nyala apinya, yaitu api yang dimunculkan dari batu. Fungsinya penting kan. Biarpun itu korek api modern macam cricket walau rusak, korek api itu bisa nyala harus dengan bantuan percikan api yang lain. Intinya tetap bisa digunakan dan berfungsi. Partai politik juga tetap ada positifnya.

Agama (islam) dalam ajarannya, pun juga sekedar kontekstual. Tapi tidak relevan. Misal, puasa. Apa iya itu bisa diterapkan di negara-negara bagian utara? Yang bisa diketahui matahari bisa dua bulan ada terus, dua bulan berikutnya gelap terus. Bahwa puasa, dimulai dari terbit fajar, hingga terbenam matahari. Lalu? Apa iya manusia bisa di alaska bisa hidup menjalankan perintah agama islam? Tidak kan.

Lalu? Produk dari studi pemikiran agama itu apa?

Ada contoh menarik lagi, yaitu “apakah diperbolehkan sholat sambil megang manuk?”, jawabnya salah toh (menurut rukun sholat). Kemudian, 1+1=2, bagaimana dengan 1+1=3 ? ya salah juga. Tapi substansi salahnya itu berbeda. Barangkali bicara baik benar itu bisa beda arti/makna seperti baik buruk. Nah, makanya, mengapa filsafat tidak bisa disatukan dengan agama. Filsafat ada, untuk melakukan pencarian. Tapi kalo agama untuk kebenaran.

Masih banyak yang gak bisa saya uraikan, dan intinya, saya belajar lagi sesuatu hal, dan saya masih selalu merasa bodoh setiap pulang berkunjung dari rumah beliau. Bagaimana dengan kalian?

Disana & Disini

Arsip Celotehan Confianza. Melisa dan Gita.

Hujan. Meruya Ilir Raya
21 Desember 2012, 14.15

Mataku tertuju pada satu bidang yang transparan, menuju sebuah jalan yang basah dan akan terus basah. Kemarin, hari ini, di jam yang sama, tempat yang sama. Seperti ada membran menyelubungiku disini, berbatasan dengan bidang transparan itu, dan membran yang ke-2 muncul lagi, berbatasan dengan jalan, mesin, asap, bising, manusia sibuk dengan mata-mata menerawang, entah berpikir alasan hujan, menghitung bulan hingga kemarau datang, menghitung barang dagangan, mengingat keluarga, kosong memperhatikan hujan, tersenyum diantara kelabunya awan, kedinginan, dan mata-mata lain yang mungkin hilang bersamaan dengan lewatnya mereka di depan mataku.

Ruang ini, aku hanya butuh teman, bicara kesana-kemari, bau kopi, renyahnya tawa, tapi siapa yang tau isi hati masing-masing.

Tahukah dimana pikiranku berada? Di suaramu, gelisahmu, kata-kata datar darimu, tertawa terpaksa, dan aku mulai tahu. Aku, disini bersamaan dengan semua deskripsi mataku.dan kamu disana dengan segala pemikiran dan rasa bosanmu mungkin.

Kesimpulannya, aku rasakan perubahan. Seperti awan yang sekarang berubah jadi lebih gelap. Dan aku tetap ditempatku, berharap awan itu segera cerah. Kamu juga..semoga segera cerah, seperti biasa :)

Hujan. Arjosari.
21 Desember 2012, 14.59

Film 2012 menjadi pengantar tidurku, padahal film tersebut sudah ada 2 tahun sebelum prediksi yang diluncurkan oleh banyak orang terkait badai matahari, kemudian dikuatkan lagi oleh hitungan kalender menurut suku maya. Film tersebut diputar oleh salah satu stasiun tv dengan program acara terbanyak.

Setelah terbangun dari tidur pagi, mataku masih menangkap sesuatu keadaan dengan baik. Indera kulitku juga menangkap hangatnya sinar matahari yang membangunkanku, bahwa hari berjalan seperti biasanya. Padahal sekarang adalah musim hujan.

Kehidupan terus berjalan, roda waktu terus berputar dengan segala macam perubahan yang terjadi. Manusia, tentu harus jeli menangkap pertanda dan perubahan yang terjadi.

Tak terasa tahun akan segera berganti, hujan selalu menjadi pengantar perubahan bumi. Bersyukur, ketika hujan turun, sang pencipta alam semesta masih memberikan kehidupan bagi bumi, banyak rezeki, dan persepsi lainnya yang baik ketika hujan turun.

Ketika hujan turun, pasti selalu ada beberapa detik yang membuat kita terdiam, merenung, berpikir. Seperti dirimu yang mungkin sedang menerawang teka-teki kehidupan, perasaan atau lainnya. Berteduh, memandangi hujan, setidaknya itu ritual untuk menghormati hujan.

Hampir sama seperti adzan. Setelah hujan berhenti, kerumunan manusia keluar dari tempat berteduhnya masing-masing. Melanjutkan aktivitasnya kembali, sekaligus berusaha menyelesaikan pekerjaan yang tertunda atau mimpi kecil yang belum terwujud.