Sunday, May 12, 2013

Hilang



16 September 2011

Aku menyukai sekali foto ini. Sekaligus tampak wajah tersenyum aku dan Melisa (pacarku) bersesi foto di samping bangunan DIANNS & jalan tersebut. Bukan bermaksud untuk mengumbar kemesraan tetapi hanya foto ini yang aku miliki dengan  bangunan DIANNS Tbk dan foto ini yang paling wow buatku.  Aku suka dengan foto ini, rasanya seperti ada kenikmatan tersendiri yang diberikan dari foto itu, dan membuat aku tersenyum sendirian. Dan inilah fungsi foto yang mengingatkan kembali jejak memori kenangan. Yap, foto itu mengabadikan, proses mengingat itu juga untuk keabadian, mendokumentasikan segala hal penting dalam hidupku yang menurutku penting dan sekiranya entah suatu objek yang ditangkap  mata kameraku tersebut akan hilang. Dan ternyata benar, ada beberapa objek di dalam foto tersebut yang sekarang ini sudah tidak ada lagi. Objek pertama adalah helm berwarna putih, yang kedua adalah bangunan fisik bertuliskan DIANNS Tbk.

Helm retro cebok berwarna putih tersebut merupakan pemberian dari sahabatku, namanya Hero Ristyano. Anaknya baik sekali, humoris, jiwa petualang, yang jelas dia orang yang sederhana tapi sangat dermawan. Aku menyayangkan sekali helm retro putih tersebut hilang. Saat itu, temanku meminjam helm retro putih tersebut karena dia naksir dengan helmnya, "unyuuu", katanya. Aku pun meminjamkannya, dengan senang hati. Toh, aku masih punya helm lagi yang biasa kupakai sehari-hari yang bersticker Indonesia (tampak di foto). Namun, setelah berselang hampir tiga minggu dipinjam, dan aku ingin menggunakannya kembali, aku terkejut ketika mendapati jawaban via sms. "Git, maaf helmnya hilang, aku ganti ya berapa harganya", ucapnya. "Hilang ya? aduh kok bisa? teledor." batinku. Aku mengabaikan pertanyaanku tersebut dan tak ingin dijawab juga oleh temanku yang meminjamnya. Ku balas pesan tersebut, "Oh yaudah engga apa-apa, gausah diganti juga gapapa kok, ikhlas." Benda pemberian itu walaupun sederhana tapi  membuat kita mengistimewakannya. Merawat jaga, menjaga pakai, benda tersebut dengan baik. "Beneran nih? makasih ya git, semoga tuhan membalas kebaikanmu," balas temanku. 

Untuk yang kedua, bangunan fisik tersebut meninggalkan banyak kisah. Sangat banyak. Bagaimana tidak, dan ini berbeda dengan helm retro putih yang hanya menemaniku beberapa bulan saja lalu hilang. Bangunan DIANNS Tbk entah tepatnya kapan, yang saya tahu DIANNS itu berdiri pada tahun 1981. Cukup lama bukan? memang.  Rumah  yang  membesarkan/mendamping para penghuninya, manusia yang pernah singgah tetap disana. Kalian pasti punya yang namanya rumah kenangan? dimana rumah tersebut merupakan tempat yang menjadi saksi tumbuhnya kalian menjadi dewasa. Punya kakak, punya adik, ibu, ayah persis seperti sebuah keluarga. Masing-masing memiliki perannya, yang sebagai kakak ya membimbing adik-adiknya, yang udah orangtua ya mengawasi dan mendampingi. Bangunan tersebut adalah rumah warisan turun menurun. Warisan segala barang-barang rongsoknya, warisan karya di setiap generasinya, warisan prestasi yang selalu membuat persaingan untuk menjadi generasi yang terbaik di zamannya, dan warisan cerita menarik/heroik/menginspirasi lainnya. Banyak warisan. Tetapi, warisan yang berharga dan harus dilestarikan adalah soal prinsip yaitu Radikal, oRA weDI diceKAL. Itu warisan secara kontekstual.

Kini, bangunan tersebut telah roboh. Hilang. Disapu oleh kebijakan. Sedih tapi tak berlarut. Pindah rumah. Memulainya dari halaman yang baru lagi. Mengarsipkan segala warisan tetek bengek yang pernah ada rumah sebelumnya, kultur, data para penghuni dan atmosfir disana jangan sampai ada yang hilang. Suatu saat, mungkin kita bisa bernostalgia jamaah bersama dengan para penghuni yang dulu hingga sekarang.



Friday, May 10, 2013

Menangkap rasa


Ditulis pada 8 November 2011

Siang hari. Di lorong kelas kampus, menunggu jam mata kuliah Kepemimpinan.

Aniono dan Bakrizal memang hebat ya.  Jarang lho orang yang bisa seperti mereka. Puji Fahri dengan tulus.

Hebat apanya,ri? Kenapa kau memuji bangga seperti itu? Sambil berpikir mengapa.

Ya,mereka berdua mendapat gelar bintang jasa Adipradana karena telah memberikan sumbangsih yang sangat berguna bagi negara, terang fahri. Dan mereka pantas.

Kembali bertanya-tanya dalam hati.

Kok saya tidak merasakan apa-apa terhadap atas peran mereka? Mengenal nya saja pun tidak,apalagi merasakan jasa mereka, jelas mutia. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Heran.

Dalam pengalaman Indonesia yang saat ini sedang terpuruk, tidakkah harusnya mereka berpikir dan instropeksi. Semudah itukah mendapatkan gelar bintang jasa tersebut. Prestasi apa yang sudah diberikan bagi negeri ini?

Tertarik dari rasa ingin tahuku, aku bertanya pada kawan kuliahku si narno. Dan terjadilah diskusi singkat untuk menjemput jam kuliah ..

Aku sudah mengemukakan hal ini pada fahri. Tapi fahri tetap memuji sang penerima bintang jasa.
Mutia memulai pembicaraan diskusi.

Hey, ini seperti barang yang diobral secara murah. Apakah karena memang sebentar lagi menjelang lebaran sehingga semuanya serba diobral murah? Ataukah ini dampak dari iklan-iklan operator yang bersaing menawarkan bonus ini itu secara cuma-cuma?

Aku cemas,sangat cemas sekali terhadap apresiasi pada orang yang dinilai berjasa kepada negara. Jangankan untuk tokoh yang akan disematkan bintang jasa nanti pada Hari penting Nasional. Pahlawan yang sudah jelas berjasa pada Negara ini pun sudah agak kita abaikan (lupakan) jasa-jasa nya. Ditambah lagi,dengan pemberian penghargaan bintang jasa yang terkesan seperti tiket kereta kelas ekonomi.

Saya juga heran !, narno menimpali ucapan mutia. Padahal negeri ini sangat membutuhkan sosok pemimpin yang menunjang pembangunan bangsa dan negara.

Apa yang diperlihatkan oleh bakriezal pada negeri ini yang dimana sampai saat ini kasus lapindo belum juga terselesaikan tanggung jawabnya. Keadilan yang seharusnya didapat rugi atas tanah mereka, kini hak tersebut  terendam lumpur juga. Karena bagi saya keadilan itu lebih diartikan sebagai prestasi tertinggi. Yang merisaukan disini adalah kenapa tokoh seperti bakriezal layak mendapatkan penghargaan bintang jasa?

Tidak semua rakyat, seperti kami menghendaki. Dimana demokrasi yang seutuhnya? Sudah ada uji publik nya belum atau ini lagi-lagi permainan politik? jelas narno dengan nada berapi-api.

Kami tidak keberatan jika mereka mendapatkannya, tapi tolong kewajiban harus diutamakan lebih dahulu. Satu lagi, coba lebih selektif dalam menentukan.

Mutia masuk pembicaraan. Benar,no! partisipasi rakyat dalam sebuah intervensi itu kan harus selalu ada ya?,tanya mutia.

Iya, benar mut. Partisipasi rakyat menentukan mutu demokrasi. Mungkin bisa dilakukan uji publik terlebih dahulu.

Kembali pada hal sikap politik atau bukan, membereskan basis kekuatan citra partai nya atau apalah. Yang jelas rakyat kelas bawah selalu berada pada pusaran penderitaan. Kelas atas yakni elite politik selalu berjuang demi kemakmuran diri nya sendiri maupun golongan nya.

Demikian pun, persoalan penghargaan bintang jasa ini muncul akibat representasi yang dinilai seperti pembagian jatah prestasi. Sepintas memang kami tidak dirugikan sama sekali. Tapi sejarah akan mencatat itu. Ini menjadi kebutuhan nyata dan mendesak ,untuk keperluan negara ataukah ini menyangkut urusan politik semata yang semakin hari tak dapat dihindari urgensinya?

Dari kejauhan tampak seorang pria yang berkumis tebal dan berkacamata hitam,bercelana jeans, serta rambut bela tengah.  Dan obrolan pun berakhir.

Hey..Mut,No. Pak Fadil sudah datang tuh. Ayo kita masuk kelas.