Pengacau kehidupan.
Pengacau perjuangan.
Pengacau ketenteraman.
Diberi kepercayaan malah mengkhianati.
Keberanian fisik, ternyata mental pengecut.Uang menentukan segalanya.
Uang terbukti efektif dan ampuh mewujudkan sesuatu yang diinginkan.
Pertanyaannya, apakah jika rasa bersalah sudah tumpul, apakah masih tersisa rasa malu dan bisa mencegah sebuah tindak suap-disuap, suap menyuap serta penyelewengan dalam KKN?
Seorang yang sedang berdusta mempermainkan amanah. Keberanian menyatakan kejujuran yang terselip dalam niatan pengingkaran misi suci.
Monday, July 30, 2012
Sunday, July 29, 2012
Hari Suwandi Sebelum Berbelok Arah
Tulisan ini ditulis oleh Paring Waluyo di grup facebook "Dukungan Hari Suwandi. Jalan kaki Porong - Jakarta" sebagai penjelasan atas kejadian Hari Suwandi yang tidak konsisten pada perjuangan, ketika kemunculannya wawancara live di TvOne.
Awal Juni 2012, Hari Suwandi beberapa kali menghubungi saya via
telepon. Ia menyatakan akan melakukan aksi jalan kaki Porong-Jakarta
untuk menemui Presiden SBY. Tujuannya, untuk menggalang dukungan publik,
dan menyampaikan segala persoalan penanganan korban lumpur oleh PT
Minarak Lapindo Jaya {PT MLJ}. Telepon dia pertama dan kedua, kurang
begitu aku tanggapi, sebab aku paham betul bahwa Hari Suwandi sebelumnya
telah mengkhianati perjuangan korban lapindo.
Pada tahun
2008, saat ia masih menjadi salah satu koordinator Geppres (Gerakan
Korban lapindo Pendukung Peraturan Presiden No 14 tahun 2007),
mengkhianati cita cita perjuangan. Geppres saat itu beranggotakan 1554
anggota korban lumpur lapindo dari empat desa, yakni Desa Kedung Bendo,
Renokengono, Jatirejo, dan Siring. Tuntutan Geppres adalah berjalannya
Perpres No 14 tahun 2007, bahwa 80 persen sisa aset korban lapindo
dibayar tunai oleh PT MLJ.
Hampir setahun, aku bersama para
koordinator Geppres (Hari Suwandi, Suwito, Rois, dan Mahmudatul
Fatchiya) kesana kemari untuk memperjuangkan tuntutan warga geppres itu.
Mulai aksi menutup Jalan Raya Porong, mengadu ke Komnas HAM, aksi massa
di Jakarta (Kantor Presiden). Namun usaha usaha itu belum membuahkan
hasil. Disisi lain, PT MLJ terus bergerilya melaksanakan skema
pembayaran sisa aset 80 persen milik korban lapindo dengan cara
diangsur.
Februari 2009, saat Nirwan Bakrie (pemilik Lapindo
Brantas) dan Imam Agustino (General Manager Lapindo Brantas, Inc) yang
difasilitasi oleh pemerintah, menyatakan sanggup membayar 80 persen
dengan cara diangsur. Tanah diangsur Rp. 10juta/ bulan dan bangunan Rp.
15/bulan. Dan dalam perjalannya, mulai 2010-2012 program pembayaran
cicilan ini juga tidak jelas. Jelas keputusan ini bertentangan dengan
cita cita Geppres. Geppres sejak awal dibentuk berjuang agar 80 persen
dibayar tunai ke masing masing pemilik aset (korban lapindo).
Keputusan Lapindo Brantas yang didukung oleh Menteri Pekerjaan Umum
(Ketua Badan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo/ BPLS) dan
kapolri itu jelas memungkiri Perpres No 14 tahun 2007. Selain pemerintah
tidak konsisten dalam memberlakukan aturan yang dibuatnya sendiri,
dengan fasilitasi Lapindo untuk melanggar perpres, situasi ini jelas
tidak menguntungkan perjuangan Geppres.
Pasca keputusan
membayar diangsur itu, jajaran PT MLJ (perusahaan yang dibentuk Lapindo
Brantas) untuk melaksanakan kewajiban pembayaran ke korban lapindo)
melakukan gerilya. Mereka menebar tenaga untuk melobi pimpinan pimpinan
kelompok korban lapindo, termasuk Geppres untuk mengarahkan warganya
menyetujui keputusan itu.
Lobi itu terbukti berjalan cukup
sukses, beberapa koordinator Geppres seperti Hari Suwandi, Suwito dan
Mahmudatul Fatchiya mempengaruhi anggotanya untuk setuju kebijakan
Lapindo Brantas. Inilah momen awal, dimana Hari Suwandi mulai tidak
dipercaya oleh warga korban lapindo. Bahkan Hari Suwandi sempat
diberikan ruangan khusus di kantor PT MLJ untuk mengurus berkas berkas
warga yang berhasil diarahkannya untuk masuk program cicilan. Namun
massa keemasan Hari Suwandi dengan petinggi PT MLJ tak berjalan lama,
seiring usainya massa pengurusan berkas berkas milik korban. Apalagi,
besar kemungkinan PT MLJ mengetahui kalau Hari Suwandi telah tak
dipercayai warga korban lapindo. Habis manis, sepah dibuang, kira kira
begitulah situasi Hari Suwandi pasca bermanis manis dengan PT MLJ itu.
Langkah Hari Suwandi itulah yang meyebabkan ia tidak dipercaya lagi
oleh para korban lapindo. Ia dikucilkan dari pergaulan dengan korban
lapindo, terutama warga Geppres yang masih berjuang. Sehingga ketika ia
menghubungiku akan berjuang kembali, jalan kaki Porong Jakarta untuk
korban lapindo sungguh tidak aku percayai. Berkali kali ia telepon dan
meyakinkan aku, bahwa ia telah bertaubat.
Untuk menunjukkan
kesungguhannya itu, ia meminta waktu untuk bertemu denganku. Awal Juni
2012 aku sama ia ketemu. Bahkan saat pertama kali ketemu denganku, ia
telah membawa surat keterangan dari Kepala Desa Kedung Bendo. Surat itu
menyatakan bahwa yang bersangkutan sebenar-benarnya warga Desa kedung
Bendo yang akan jalan kaki ke Jakarta. Hari Suwandi juga menyatakan akan
berjalan kaki Hari Rabu, 6 Juni 2012. “Sampeyan dukung aku atau tidak
mas, aku tetap berjalan kaki ke Jakarta” ucap Hari Suwandi.
“Apakah sampeyan sudah mempersiapkan bekal dan segala sesuatunya cak,
termasuk kontak rekan rekan wartawan? Jawabku. Ia menjawab kalau belum
mempersiapkan segala sesuatunya. Dilihat dari gestur tubuhnya, tampak
ia tidak sedang bermain main. Bahkan ia sungguh sungguh untuk melakukan
perjuangan itu, apalagi ia juga ingin menebus dosa yang telah
diperbuatnya itu. Bahkan saat itu ia sama sekali tidak memiliki uang.
Satu satunya bekal awal yang dimilikinya hanya uang Rp. 70.000 sumbangan
dari Kepala Desa Kedung Bendo.
Kesungguhannya itu membuatku
percaya bahwa HS benar benar ingin bertobat. Aku memintanya untuk tidak
berangkat tanggal 6 Juni 2012. Aku menyarakankan ia berangkat ditunda
seminggu kedepannya, agar aku memiliki kesempatan untuk menggalang
solidaritas untuk HS, terutama dikota kota yang bakal dia gunakan untuk
beristirahat sejenak. Untuk mendukung perjalanannya ke Jakarta, aku
menyarankan HS untuk mencari seorang teman, yang nantinya membawa
perbekalannya.
Sehari berikutnya HS menemuiku dan membawa Harto
Wiyono (HW). HS menyatakan Hartolah yang akan menjadi temannya selama
diperjalanan. Aku mengenal HW juga sudah lama. Ia termasuk sedikit
korban lapindo yang konsisten dalam berjuang. Bahkan sampai kini ia
tetap menjadi anggota Geppres dan menutut pembayaran 80 persen dengan
tunai. Ia menolak pembayaran 80 persen dengan cara diangsur. Cak Harto
saat itu juga setuju menemani HS, saat aku tanyakan ke dia.
Setelah segala sesuatunya siap, kami bertiga sepakat untuk memulai
keberangkatan tanggal 14 Juni 2012. Tapi HS dan HW disarankan oleh ahli
spiritual lokal untuk memulai niat baik itu dengan siraman dulu diatas
tanggul. Aku melihat siraman itu bisa sebagai “media pemberitahuan”
kepada publik melalui rekan rekan media. Tanggal 10 Juli 2012 HS
menjalani siraman diatas tanggul ditemani ratusan korban lapindo.
Liputan media juga sangat banyak.
Sejak saat siraman itu, media
di Sidoarjo terus memburu HS dan HW sebagai sumber berita. Apalagi pada
tanggal 14 Juli 2012 saat akan pemberangkatan jalan kaki, HS dan HW
tiada henti menjadi sumber peliputan media. Tanggal 14 Juli 2012 pukul
11.00 WIB, ratusan korban lapindo dan berbagai tokoh masyarakat seperti
para pendeta, anggota DPR, kiai, dan beberapa tetangga HS di tempatnya
yang baru dan orang tua HS ikut dalam pelepasan “upacara” pemberangkatan
HS diatas tanggul lapindo.
Pagi sebelum berangkat, HS kembali
menegaskan kepada saya bahwa; “Aku tak akan pulang mas, sebelum bisa
bertemu dengan Presiden SBY, dan berhasil mendesak PT MLJ melunasi
pembayaran korban lapindo, doakan ya mas”, ujarnya. Pagi itu terkumpul
bantuan dari beberapa rekanku sebanyak Rp. 2 juta (dibagi dua utk HS dan
HW). Sumbangan itu kami perkirakan setidaknya cukup untuk tiga pekan.
Artinya selama tiga pekan itu, aku tak khawatirkan keduanya mengemis
ngemis dijalan. Sumbangan itu bersifat bebas dan sukarela, tiada ikatan
apapun, apalagi motif politik untuk menjatuhkan nama Abu Rizal Bakrie
Saat upacara pelepasan dilakukan, HS dan HW berpamitan dengan penuh
haru dengan ibunda HS. HS sungkem didepan ibundanya, sambil di iringi
suara adzan. Suasana begitu syahdu, semua terdiam, merinding, banyak
dikalangan perempuan yang ada menitikan air mata. Pasca itu HS dan HW
banyak mendapatkan saran, wejangan, dan suntikan semangat dari para
pemuka masyarakat, agama dan sesama korban lapindo.
Aku dan
seorang teman mengiringi HS jalan kaki dan HW yang naik motor dibelakang
HS. Aku mengiringinya sambil ditemani seorang jurnalis kompas hingga ke
pusat kota Surabaya. Selama perjalanan, anda semua mungkin mengikutinya
melalui berbagai media massa. Mulai HS kena “teror” kecopetan, banyak
dukungan warga masyarakat luas mulai dukungan menginap, makan, uang
saku, rokok, pijat, pemeriksaan kesehatan, dll.
Seminggu lebih
kemudian HS dan HW sampai Semarang. Sebelum sampai Semarang, HS dan HW
meminta saya menyusulnya di Semarang, rasanya mereka kangen, dan butuh
kedatanganku untuk menambah semangat. Aku menyusulnya ke Semarang. Di
Semarang kami semua disambut oleh PMII IAIN WaliSongo Semarang. Bahkan
sampai di Semarang, Pemprov Jatim mengutus dua stafnya untuk memberi
sumbangan tanpa mengikat kepada HS dan HW sebesar Rp 2 juta.
Saat Tiba di Jakarta
Tanggal 7 Juli 2012, HS dan HW tiba di Jakarta. Sehari sebelumnya aku
menyusul ke Jakarta untuk berkoordinasi dengan rekan rekan di Kontras,
Walhi, Jatam, YLBHI, dan ILR untuk minta bantuan pendampingan selama di
Jakarta, tempat menginap, dan support media. Tanggal 7 jam 12.00 WIB HS
dan HW tiba di Tugu Proklamasi dan kami menyambutnya beramai ramai,
bersama puluhan wartawan dari berbagai media massa. Bahkan Global TV
sempat memberi kesempatan kepada HS dan HW untuk wawancara live dari
depan Tugu Proklamasi. Sesudahnya, kami semua berkumpul di Kantor
Kontras di Jalan Borobudur, Jakarta. HS dan HW sampai sore terus
melayani awak media yang minta wawancara.
Hari itu juga, Adik
HS bernama Bambang tiba di Jakarta dan bergabung dengan kami semua.
Malam harinya Sri Bati, isteri HS juga tiba di Jakarta. Malam itu kami
semua tidur di Mushola Kantor YLBHI. Hari kedua di Jakarta, HS telah
berjibun mendapat undangan live di stasiun televisi. Pada Hari kedua di
Jakarta HS live di Global Tv dan Sindo TV. Hari Ketiga live di Kompas
TV, dan mendatangi Gedung DPR untuk ketemu Pimpinan DPR. Saat itu
pimpinan DPR yang ada hanya Pramono Anung, maka HS dan HW ditemui
Pramono Anung. Selain itu HS dan HW juga bertemu dengan jajaran Komisi V
DPR. Komisi V mitra kerja BPLS di DPR. Kami ke DPR terlebih dahulu,
karena mereka lebih mudah diakses ketimbang ke istana. Kami ke pimpinan
DPR untuk fasilitasi bertemu dengan presiden. Sedangkan ke komisi V
untuk mengadukan kelakukan PT MLJ.
Saat ke DPR tak ada setingan
atau skenario dengan parpol tertentu. Semuanya berjalan alamiah. Tiada
politisasi sebagaimana tuduhan boneka boneka lapindo. Semua usaha HS dan
HW ke DPR hanya untuk mengadukan model pembayaran PT MLJ yang penuh
tipu tipu. Seperti seringnya PT MLJ ingkari janji yang dibuatnya secara
tertulis, pembayaran berdasar rekomendasi ketua ketua grup, bukan
berdasarkan data base yang seharusnya dibayarkan oleh PT MLJ.
Pada Hari Keempat, kami mengadakan jumpa pers di Kantor Seknas Walhi,
Jakarta. Jumpa pers ini untuk memberikan informasi secara komplit kepada
media massa atas maksud dan tujuan HS ke Jakarta, dan informasi lain
yang belum terberitakan, serta dukungan berbagai komponen civil society
kepada perjuangan HS dan HW. Saat konpers itu juga HS menolak
diwawancarai tivi one. Awalnya ia bersedia, tetapi pertanyaan tivi one
mengarah bukan pada topik soal perjuangannya, mengarah ke hal hal lain
yang lebih ke pribadi HS. Akhirnya wawancara dihentikan, apalagi, HS
kecewa sebelumnya ada berita di tivi one yang menyiarkan bahwa HS bukan
korban lapindo, dan hanya mencari sensasi saja.
Pada hari itu
juga, beberapa ibu ibu dan seorang lelaki separuh baya, yang juga korban
lapindo menyusul HS dan HW ke Jakarta. Mereka menyusul ke Jakarta juga
atas permintaan HS sendiri. Ketiga ibu ibu itu adalah anggota Geppres
yang tetap setia berjuang menuntut agar pembayaran 80 persen dibayar
dengan tunai.
Pada hari Kelima di Jakarta, HS dan HW, aku dan
beberapa rekan dari Jakarta, seperti Jatam menemani HS mengantarkan
surat permohonan audiensi ke Presiden SBY. Karena dua hari sebelumnya
Jubir Presiden menyatakan pintu istana terbuka untuk HS. Jubir Presiden
juga menyatakan belum mengerti maksud kedatangan HS dan belum menerima
suratnya secara resmi. Oleh karena itu, kami menindaklanjutinya dengan
berkirim surat. Saat itu juga kami diikuti oleh belasan awak media
massa. Saat itu wartawan tivi one juga akan wawancara ke HS, namun
ditolaknya.
Pada hari keenam kami semua terlihat capek, dan
saat itu juga weekend sehingga kantor kantor tutup. Kami menggunakannya
untuk istirahat. Hari ketujuh, orang tua Sri Bati meninggal dunia,
sehingga siang itu Sri Bati, dan HW pulang ke Sidoarjo. Hari itu juga,
malam harinya saya pulang ke Surabaya. Kami berbagi peran dengan rekan
rekan di Jakarta, agar saya tetap melanjutkan kerja kerja pendampingan
di Porong dan HS disupport rekan rekan di Jakarta. Sebelum pulang, aku
berpesan berkali kali ke HS agar tetap istiqomah (konsisten), jangan
membuat kesalahan untuk kedua kalinya. Jaga niatmu dalam berjuang ini.
HS pun menyatakan jangan khawatirkan soal itu mas. Meki tak lagi disisi
HS, namun begitu, setiap hari aku berkomunikasi dengan HS.
Dua
hari setelah saya ada di Porong, HS menghubungi saya akan aksi teatrikal
di Wisma Bakrie. Pembaca juga dapat melihat sendiri melalui media massa
ia juga aksi di Wisma Bakrie. HS juga saya minta untuk mengecek kembali
proses suratnya di Istana. Aksi aksi HS itu mengundang petinggi PT MLJ
turun tangan. Berdasarkan info yang saya dengar langsung dari HS, ADT
Dirut PT MLJ menghubunginya mengajak bertemu.
“ADT mengajak
bertemu aku mas. Gimana menurutmu mas?”, tanya HS. Aku jawab, solusi
tiadak harus dari istana cak, bersyukur jika ADT mau memberikan jawaban
kongkrit menyangkut aspirasi semua korban lapindo. Setujui saja bertemu
dengan ADT dengan catatan ada beberapa prinsip yang tak boleh dilanggar,
misalnya bukan untuk kepentingan pribadi dirimu cak”, jawabku. Selang
sehari kemudian HS kembali menghubungi aku, Ia menyatakan pertemuan
dengan ADT ia batalkan, sebab berdasarkan hubungan via telepon, ADT
tidak bisa memberikan jalan keluar atas perjuangannya. “ADT hanya
menjajikan pelunasan aset orang tuaku mas, bukan pelunasan korban
lapindo, maka aku menolaknya”, ujar HS.
Seminggu sejak
kepergianku dari Jakarta telah berlalu, Bahkan HW telah kembali menemani
HS ke Jakarta. HW datang bersama seorang korban lapindo lainnya. Pagi
itu, HW tiba di Jakarta. Mereka semua menginap di Kontras. Bahkan, sore
hari sebelum HW datang, Isteri HS juga sudah tiba di Jakarta kembali
bersama anak angkatnya yang masi balita. HS dan isteri dan anaknya
kembali aksi jalan kaki mengelilingi istana dan menanyakan kembali
suratnya. “tata usaha istana menyatakan suratnya sebaiknya diantarkan
kedepan mas, bukan ke setneg”, ucap HS melalui telepon. “Oke kita turuti
kemauan mereka cak, kita buat surat kembali kita masukkan lewat depan
via pos kilat khusus. Sambil usahakan ke Cikeas langsung’, jawabku.
Rencana ini juga disetujui oleh HS. Sehari setelahnya, HS pamitan ke HW
akan membelikan susu anaknya. Ia pergi bersama isterinya. Jelang
magribh HW kontak saya bahwa HS akan ke tivi one. “Kok sampeyan tahu
kalau HS akan ke tivi one cak”, tanyaku ke HW. “Ya mas aku diberitahu
oleh kawan JTV” jawabnya. Saat itu juga aku kontak HS, namun tak
sambung. Selang beberapa menit giliran HS yang menghubungi aku.
“Sampeyan akan ke Tivi One yo cak?, tanyaku. Engga mas, jawabnya.
Syukurlah kalau begitu. Kita fokus saja cak garap ke cikeas dan istana,
setuju mas, jawabnya. Kontak ini adalah dua jam sebelum HS tampil di
tivi one.
Saat itu, aku tengah akan berbuka puasa, karena kira
kira pukul 20.00WIB. Sebab aku baru tiba dari perjalanan, sehingga makan
buka puasaku terlambat. HW kembali menghubungi aku, “mas sampeyan lihat
tivi one sekarang”, kata HW. Saat itu juga sambil makan aku melihat HS
muncul di tivi one. Aku benar benar kaget. Aku punya dugaan tak baik
ini kejadiannya. Makan ku hentikan sejenak. Kuamati kata demi kata yang
keluar dari mulut HS. Bagaikan disambar petir disiang bolong saat HS
mengucapkan terima kasih ke Bakrie, menyatakan tindakannya ada yang
menyuruh, bukan keinginannya pribadi dan seterusnya.
Malam itu
juga, pikiranku kalut. Ratusan twitter me mention aku, puluhan sms masuk
ke hpku, dan puluhan komen dan postingan di grup fb dukung HS masuk,
semuanya sama pertanyaannya: ada apa dengan HS, kok jadi begitu? Sampai
uber socialku error karena begitu banyaknya mention yang masuk. “Kecewa
dan malu” itulah yang aku rasakan. Namun beberapa teman segera
menyarankan ke aku untuk segera rilis media, memberi penjelasan soal
kejadian itu, supaya aku tidak dianggap menjadi bagian perilaku kotor
HS. Saat itu juga aku kontak HW dan F para korban lapindo yang saat itu
menemani HS di Jakarta namun ditinggal HS begitu saja. Menurut F, sehari
sebelum live di tivi one, HS keceplosan omong ke F. F menyatakan
kepadaku “HS dijanjikan tunjangan bulanan mas, katanya Rp 5 juta per
bulan”. Sementara alasan korban lapindo tak mendukungnya itulah sebagai
dalih ia meminta maaf ke Bakrie.
Sehari kemudian, rekan rekan
media seperti, Koran Sindo, Surya, Tempo, Kompas mewawancarai aku soal
ini. Dan semuanya sudah aku posting di twitter pribadiku. Semoga ini
bisa memberi informasi yang cukup atas tragedi kotor HS. Saya pribadi
minta maaf kepada semua rekan.
Subscribe to:
Posts (Atom)