Khawatirmu khawatirku, beda. Mengapa harus isak sendu
tersebut dipertunjukkan?
Sebuah sambungan komunikasi jarak jauh pagi hari. Bermuatan pertanyaan
perihal penerbangan impian, keinginan, cita-cita dan harapan.
Suara deru mesin pemecah keramik beradu dengan suara ‘kita’.
Perbincangan
Dua tahun, masih ditempat saja, katanya. Aku menyadari
seperti aku berada di jalur yang salah. Tersesat. Ini perkara. Bukan berarti
aku tidak kuat lagi menerima tekanan.
Aku sudah siap dengan segala resikonya dua tahun silam. Mencoba
memerdekakan dirinya sendirinya. Dengan caranya sendiri dan pilihannya.
Aku porak-poranda dengan segala kegagalan-kegagalanku. “Habiskan
jatah kegagalanmu sedini mungkin”, kata Dahlan Iskan di twitter. Dua tahun yang
sudah berlalu walau demikian, tetap membuatku bernyawa dan hidupku berwarna.
Belajarku, kegagalanku, dan dia.
Aku tak minta dan ingin menuntut hal apapun darimu. Aku hanya
fokus melakukan yang terbaik. Beribu-ribu maaf, jika belum bisa membuat kalian
bangga. ‘kalian’ yaitu dia, keluarga, kawan-kawanku.
Tak pernah hilang dari pikiranku, niat untuk meledakkan diriku.
Mengumpulkan mantra dan berusaha.
Siksaan diri berupa seputar pertanyaan yang
itu-itu aja dan cemoohan, menjadi rutinitasku. Aku sedang sibuk menghadapi tamu
agung tersebut yang riuh dan memuakkan.
Mencari jalan, melangkah, memaknai, dan berlari menjemput matahari terbit. Penuh
penderitaan, jenuh, lelah, tetapi aku menikmatinya. Tuhan selalu aku curhati,
alam semesta membimbingku dengan segala momen dan kejutannya.
Manusia tak lepas dari masalah dan sekarang aku sedang
mencurahkan pikiran. Menyalami terus kesempatan dan kepercayaan. Bila ada
pertanyaan “sampai kapan?”, akan aku jawab “sebentar lagi”. Mungkin bukan
sekarang, mungkin juga bukan besok, tapi nanti…. Percayalah!