Kesadaran bahwa kuliah juga tidak
memberikan jalan keluar dari kesulitan hidup. Tetapi kesadaran bahwa skripsi
itu penting segera diselesaikan untuk mengurangi kesulitan hidup. Hmm.. itu sih
bagi saya.
Sekarang saya sedang menempuh
skripsi dan baru niat mengerjakannya pada semester 11 ini. Barangkali faktor
dengan adanya informasi terkait SPP progresif yang dikeluarkan UB (Universitas
Brawijaya) merupakan salah satu alasan yang cukup ampuh membuat mahasiswa untuk
berlari kencang sarjana. Kebijakan SPP progresif ini bisa dibilang semacam alat
kendali untuk memotivasi mahasiswa untuk segera lulus cepat. Bagaimana tidak
cepat, mahasiswa yang menempuh akademik melebihi semester 8 akan dikenakan
biaya tambahan sekian persen. Lebih jelasnya silakan dibaca di buku pedoman
akademiknya masing-masing ya.
Besarnya uang SPP dan uang gedung
bagi ketika saya masuk di UB pada tahun 2007 sebesar 14 juta rupiah (jalur
SPMK), kalau jalur SPMB sebesar 7 juta rupiah. Kemudian, biaya per semester
ditentukan secara proporsional. Beda dengan sebelumnya diatas angkatan saya,
2006,2005,2004, dst diseragamkan biaya SPPnya.Sekarang biaya uang gedung di UB
selalu meningkat.
Mengakomodasi penerimaan
mahasiswa dari berbagai strata sosial ekonomi merupakan hal penting agar pendidikan
bisa diakses secara luas. Ini bicara soal daya tampung dan keadilan. Meskipun
disadari, UB memang mahal biaya pendidikannya.
Mahal biaya pendidikan inilah
yang menjadi dasar pertimbangan soal apa yang harus kita lakukan selama menjadi
mahasiswa. Asumsi sederhananya, “saya harus cepat lulus”. Dengan sendirinya
akan membentuk pola pemikiran mahasiswa menjadi lebih pragmatis: cepat lulus ah
agar cepat keluar dari permasalahan,hehehe. Seakan-akan hal ini yang malah
menjadikan suatu kebutuhan, bisa jadi hal yang memberatkan. Itu sudah pasti.
Fungsi pendidikan adalah untuk
pendewasaan pribadi, menciptakan hidup yang merdeka. Kemudian saya jadi
teringat lukisan di tembok Sekretariat Bersama LKM FIA UB yang digambar oleh
kawan-kawan SSM (Sanggar Seni Mahasiswa) FIA UB. Persis di teras kantor mereka.
Ada gambar robot menggunakan topi wisuda dan memegang ijazah. Persepsi yang
saya tangkap, muncul keraguan, untuk apa
sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya semacam budak/pekerja yang diharuskan wajib
lulus cepat dan siap bekerja. Lapangan pekerjaan? Jangan mimpi ya, bisa langsung
dapat kerja dengan mudah. Banyaknya angka pengangguran dari kaum terdidik,
penting disadari bahwa ketersediaan lapangan kerja juga tak dapat menampung
banyaknya para lulusan pendidikan formal S1 khususnya. Yang sudah lulus belum
dapat kerja, semoga lekas mendapat
pekerjaan ya.
Jika teman-teman aktivis berkata,
kuliah terus pulang itu gak ada artinya jadi mahasiswa. Sebaliknya, mahasiswa
puritan berkata, loh yang penting saya rajin kuliah, IPK bagus, dan cepat lulus
untuk siap menghadapi dunia selanjutnya. Kesimpulannya, masing-masing golongan tersebut
memiliki indikator keberhasilan yang mereka yakini. Tak lepas dari pengamatan,
bahkan yang aktivis pun juga banting setir. Mahasiswa makin tersudut
peranannya. Hmm…
Kelompok mahasiswa adalah
kelompok usia muda yang memiliki naluri untuk tampil semangat memberontak
terhadap kemapanan. Sekaligus, seperti yang sudah saya kemukakan diatas tentang
pendewasaan diri, mahasiswa sedang dalam proses mencari identitas diri maupun
memaknai hidup mereka. Seakan-akan karena pendidikan mahal dan kebijakan
masing-masing kampus memisahkan secara tegas antara teori dan praktik, antara
wacana dan realitas. Kampus kita lupa apa gimana ya, pembangunan infrastruktur
yang berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan seperti laboratoriumnya,
pengusahaan dana penelitian, penulisan karya justru tidak diprioritaskan. Malah
sibuk membuat pagar brawijaya, dan macam bentuk infrastruktur fisik lain yang
kurang esensial.
Ngomong-ngomong, udah ah cukup.
Skripsi saya jadi apa kabar lagi deh. Dan saya harus segera melanjutkan
pekerjaan skripsi yang tertunda. Barangkali pendidikan yang saya lihat di UB cuma
mengejar kuantitas saja, kurang fokus menghasilkan
lulusannya yang berkualitas secara merata.
“Ijazah dapat menunjukkan intelektual seseorang, intelektual seseorang tak hanya
diukur dari Ijazah.”, ucap @izkelmogita
No comments:
Post a Comment