Tuesday, October 30, 2012

Membayangkan


Kesadaran bahwa kuliah juga tidak memberikan jalan keluar dari kesulitan hidup. Tetapi kesadaran bahwa skripsi itu penting segera diselesaikan untuk mengurangi kesulitan hidup. Hmm.. itu sih bagi saya.

Sekarang saya sedang menempuh skripsi dan baru niat mengerjakannya pada semester 11 ini. Barangkali faktor dengan adanya informasi terkait SPP progresif yang dikeluarkan UB (Universitas Brawijaya) merupakan salah satu alasan yang cukup ampuh membuat mahasiswa untuk berlari kencang sarjana. Kebijakan SPP progresif ini bisa dibilang semacam alat kendali untuk memotivasi mahasiswa untuk segera lulus cepat. Bagaimana tidak cepat, mahasiswa yang menempuh akademik melebihi semester 8 akan dikenakan biaya tambahan sekian persen. Lebih jelasnya silakan dibaca di buku pedoman akademiknya masing-masing ya.

Besarnya uang SPP dan uang gedung bagi ketika saya masuk di UB pada tahun 2007 sebesar 14 juta rupiah (jalur SPMK), kalau jalur SPMB sebesar 7 juta rupiah. Kemudian, biaya per semester ditentukan secara proporsional. Beda dengan sebelumnya diatas angkatan saya, 2006,2005,2004, dst diseragamkan biaya SPPnya.Sekarang biaya uang gedung di UB selalu meningkat.

Mengakomodasi penerimaan mahasiswa dari berbagai strata sosial ekonomi merupakan hal penting agar pendidikan bisa diakses secara luas. Ini bicara soal daya tampung dan keadilan. Meskipun disadari, UB memang mahal biaya pendidikannya.

Mahal biaya pendidikan inilah yang menjadi dasar pertimbangan soal apa yang harus kita lakukan selama menjadi mahasiswa. Asumsi sederhananya, “saya harus cepat lulus”. Dengan sendirinya akan membentuk pola pemikiran mahasiswa menjadi lebih pragmatis: cepat lulus ah agar cepat keluar dari permasalahan,hehehe. Seakan-akan hal ini yang malah menjadikan suatu kebutuhan, bisa jadi hal yang memberatkan. Itu sudah pasti.

Fungsi pendidikan adalah untuk pendewasaan pribadi, menciptakan hidup yang merdeka. Kemudian saya jadi teringat lukisan di tembok Sekretariat Bersama LKM FIA UB yang digambar oleh kawan-kawan SSM (Sanggar Seni Mahasiswa) FIA UB. Persis di teras kantor mereka. Ada gambar robot menggunakan topi wisuda dan memegang ijazah. Persepsi yang saya tangkap,  muncul keraguan, untuk apa sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya semacam budak/pekerja yang diharuskan wajib lulus cepat dan siap bekerja. Lapangan pekerjaan? Jangan mimpi ya, bisa langsung dapat kerja dengan mudah. Banyaknya angka pengangguran dari kaum terdidik, penting disadari bahwa ketersediaan lapangan kerja juga tak dapat menampung banyaknya para lulusan pendidikan formal S1 khususnya. Yang sudah lulus belum dapat kerja,  semoga lekas mendapat pekerjaan ya.

Jika teman-teman aktivis berkata, kuliah terus pulang itu gak ada artinya jadi mahasiswa. Sebaliknya, mahasiswa puritan berkata, loh yang penting saya rajin kuliah, IPK bagus, dan cepat lulus untuk siap menghadapi dunia selanjutnya.  Kesimpulannya, masing-masing golongan tersebut memiliki indikator keberhasilan yang mereka yakini. Tak lepas dari pengamatan, bahkan yang aktivis pun juga banting setir. Mahasiswa makin tersudut peranannya. Hmm…

Kelompok mahasiswa adalah kelompok usia muda yang memiliki naluri untuk tampil semangat memberontak terhadap kemapanan. Sekaligus, seperti yang sudah saya kemukakan diatas tentang pendewasaan diri, mahasiswa sedang dalam proses mencari identitas diri maupun memaknai hidup mereka. Seakan-akan karena pendidikan mahal dan kebijakan masing-masing kampus memisahkan secara tegas antara teori dan praktik, antara wacana dan realitas. Kampus kita lupa apa gimana ya, pembangunan infrastruktur yang berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan seperti laboratoriumnya, pengusahaan dana penelitian, penulisan karya justru tidak diprioritaskan. Malah sibuk membuat pagar brawijaya, dan macam bentuk infrastruktur fisik lain yang kurang esensial.

Ngomong-ngomong, udah ah cukup. Skripsi saya jadi apa kabar lagi deh. Dan saya harus segera melanjutkan pekerjaan skripsi yang tertunda. Barangkali pendidikan yang saya lihat di UB cuma mengejar kuantitas saja, kurang fokus menghasilkan lulusannya yang berkualitas secara merata.

“Ijazah dapat menunjukkan intelektual seseorang, intelektual seseorang tak hanya diukur dari Ijazah.”, ucap @izkelmogita 

No comments: