LPM DIANNS - Ada yang jago bikin sajak? Mungkin Wahyu Semeru orangnya, karena lebih banyak dia frekuensi menulis kata-kata indah di blackbook DIANNS dibandingkan yang lain. Kemudian ada yang jago fotografi? Mungkin kawan Dio Rachmad, cukup berpengalaman dan lagi mendalaminya banget di bidang ini khususnya fotografi jurnalistik. Ada yang jago layout (tata letak) bulletin, jawaban ini pasti mengarah ke Rindri Andewi Gati. Ada yang jago apalagi? Oiya karikatur? Siapa ya? Mungkin Hakam Ananta karena hobi nya dalam melukis gambar di sepatu dan pernah juga menang dalam lomba karikatur tingkat BEM FIA periode 2010. Ada yang jago mengedit tulisan? Sudah tentu ialah Titin Muftiro berkat pengalaman dia menjabat menjadi redaktur pelaksana dan yang terakhir menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, namun sayang sekarang dia sudah tidak lagi masuk dalam kepengurusan LPM DIANNS.
Lalu, siapa yang jago dalam “Menulis”?
Ada yang bisa jawab? Kasih tahu pada saya jika ada yang jago dalam menulis.
Menulis? Mungkin semua pasti bisa. Menulis apa yang dia suka, apa yang ada dipikiran masing-masing kita lalu dituangkan kedalam tulisan. Namun,bagaimana menulis yang baik dan benar?
Dalam lingkup jurnalistik pers mahasiswa. Menulis menjadi merupakan senjata nya. Amunisi atau peluru nya adalah diskusi. Lalu ketika diskusi memiliki peran yang cukup besar dalam sebuah perluasan wacana pemikiran kita, pengembangan kemampuan dalam bernalar,berargumen tapi ternyata aktivitas tersebut masih dirasa kurang. Apa kita bisa menulis yang baik nantinya? Maksudnya adalah juga produk tulisan kita nanti apakah bisa panjang tulisan nya? Hmm..
Tidak sampai disitu saja, perihal dalam menulis pun ternyata juga masih menjadi hambatan dari kawan-kawan di LPM DIANNS, khususnya bagi angkatan 2009-2010.
Bagaimana bisa menulis bagus dan baik, jika semua itu harus diperintah baru terjun ke lapangan meliput berita. Bagaimana jika bisa menulis yang baik jika baru disuruh bikin satu berita saja, sudah kelimpungan dengan melontar balik dengan berbagai macam alasan “aduh tugasku banyak”, “iya deh, aku kerjain tapi gak janji ya”, dan lain-lain, begitulah ungkapan curhat Yogi Fachri sebagai Redaktur Pelaksana kepadaku.
Tentu saja hal ini akan berdampak dari eksistensi produk kita, baik lembaga maupun suprastruktur nya. Bagaimana produk kita bisa bermutu&memikat pembaca atau masyarakat di Universitas Brawijaya khususnya di Fakultas Ilmu Administrasi kalau kita masih dalam kubangan hitam seperti itu?
Suprayogi Rachmadani, sudah memulai nya dengan menyumbangkan tulisan di FK Persma (Forum Komunikasi Pers Mahasiswa), Aryo Rachmadani juga sudah memulai tulisan pertama nya yang ditempel di papan tulis ruangan DIANNS, kemudian Annisa Nur Pratiwi yang mencoba memberikan opini nya di buletin radikal yang terbit baru-baru ini,dan penulis-penulis lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dalam buletin radikal edisi sekarang tanpa mengurangi rasa hormat. Apakah tidak ingin produk kita bisa terbit secara berkala? Apa perasaan mahasiswa/i lain ketika produk kita tidak terbit? biasa aja kah, bodo amat kah, atau kecewa karena produk kita yang selalu ditunggu-tunggu? Tinggal pilih saja, ingin nya yang mana. hmm.. Selanjutnya ini adalah ceritaku, lalu mana tulisanmu?