Friday, May 10, 2013

Menangkap rasa


Ditulis pada 8 November 2011

Siang hari. Di lorong kelas kampus, menunggu jam mata kuliah Kepemimpinan.

Aniono dan Bakrizal memang hebat ya.  Jarang lho orang yang bisa seperti mereka. Puji Fahri dengan tulus.

Hebat apanya,ri? Kenapa kau memuji bangga seperti itu? Sambil berpikir mengapa.

Ya,mereka berdua mendapat gelar bintang jasa Adipradana karena telah memberikan sumbangsih yang sangat berguna bagi negara, terang fahri. Dan mereka pantas.

Kembali bertanya-tanya dalam hati.

Kok saya tidak merasakan apa-apa terhadap atas peran mereka? Mengenal nya saja pun tidak,apalagi merasakan jasa mereka, jelas mutia. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Heran.

Dalam pengalaman Indonesia yang saat ini sedang terpuruk, tidakkah harusnya mereka berpikir dan instropeksi. Semudah itukah mendapatkan gelar bintang jasa tersebut. Prestasi apa yang sudah diberikan bagi negeri ini?

Tertarik dari rasa ingin tahuku, aku bertanya pada kawan kuliahku si narno. Dan terjadilah diskusi singkat untuk menjemput jam kuliah ..

Aku sudah mengemukakan hal ini pada fahri. Tapi fahri tetap memuji sang penerima bintang jasa.
Mutia memulai pembicaraan diskusi.

Hey, ini seperti barang yang diobral secara murah. Apakah karena memang sebentar lagi menjelang lebaran sehingga semuanya serba diobral murah? Ataukah ini dampak dari iklan-iklan operator yang bersaing menawarkan bonus ini itu secara cuma-cuma?

Aku cemas,sangat cemas sekali terhadap apresiasi pada orang yang dinilai berjasa kepada negara. Jangankan untuk tokoh yang akan disematkan bintang jasa nanti pada Hari penting Nasional. Pahlawan yang sudah jelas berjasa pada Negara ini pun sudah agak kita abaikan (lupakan) jasa-jasa nya. Ditambah lagi,dengan pemberian penghargaan bintang jasa yang terkesan seperti tiket kereta kelas ekonomi.

Saya juga heran !, narno menimpali ucapan mutia. Padahal negeri ini sangat membutuhkan sosok pemimpin yang menunjang pembangunan bangsa dan negara.

Apa yang diperlihatkan oleh bakriezal pada negeri ini yang dimana sampai saat ini kasus lapindo belum juga terselesaikan tanggung jawabnya. Keadilan yang seharusnya didapat rugi atas tanah mereka, kini hak tersebut  terendam lumpur juga. Karena bagi saya keadilan itu lebih diartikan sebagai prestasi tertinggi. Yang merisaukan disini adalah kenapa tokoh seperti bakriezal layak mendapatkan penghargaan bintang jasa?

Tidak semua rakyat, seperti kami menghendaki. Dimana demokrasi yang seutuhnya? Sudah ada uji publik nya belum atau ini lagi-lagi permainan politik? jelas narno dengan nada berapi-api.

Kami tidak keberatan jika mereka mendapatkannya, tapi tolong kewajiban harus diutamakan lebih dahulu. Satu lagi, coba lebih selektif dalam menentukan.

Mutia masuk pembicaraan. Benar,no! partisipasi rakyat dalam sebuah intervensi itu kan harus selalu ada ya?,tanya mutia.

Iya, benar mut. Partisipasi rakyat menentukan mutu demokrasi. Mungkin bisa dilakukan uji publik terlebih dahulu.

Kembali pada hal sikap politik atau bukan, membereskan basis kekuatan citra partai nya atau apalah. Yang jelas rakyat kelas bawah selalu berada pada pusaran penderitaan. Kelas atas yakni elite politik selalu berjuang demi kemakmuran diri nya sendiri maupun golongan nya.

Demikian pun, persoalan penghargaan bintang jasa ini muncul akibat representasi yang dinilai seperti pembagian jatah prestasi. Sepintas memang kami tidak dirugikan sama sekali. Tapi sejarah akan mencatat itu. Ini menjadi kebutuhan nyata dan mendesak ,untuk keperluan negara ataukah ini menyangkut urusan politik semata yang semakin hari tak dapat dihindari urgensinya?

Dari kejauhan tampak seorang pria yang berkumis tebal dan berkacamata hitam,bercelana jeans, serta rambut bela tengah.  Dan obrolan pun berakhir.

Hey..Mut,No. Pak Fadil sudah datang tuh. Ayo kita masuk kelas.

No comments: