Tuesday, July 22, 2014

ARLOJI

“Jam berapa sekarang?”

“Jam satu”

“Loh, di arlojiku jam tujuh”

Tawa kami pecah menyadari sahabat duabelas angka ini berbeda penunjuknya. Jarumnya sama-sama berhenti, tapi tawa kami tak terhentikan..menyisakan senyum. Senyum maaf untuk pedoman duapuluh empat jam yang fungsinya tak lagi seyogyanya, paling tidak untuk kami.

Sepasang arloji yang melingkar di pergelangan tangan, yang fungsinya beralih. Hanya sebatas estetika, tapi ceritanya untuk kami sungguh sebuah estetika cerita cinta yang luar biasa manis.

“Jadi itu mati?”

“Ya”

“Punyaku juga”

Penunjuk waktu itu ada di kamu, senyummu, ceritamu, tingkah lucumu, itu seperti urutan angka dalam arlojiku. Satu..dua..tiga..empat..dan seterusnya sampai gulita mulai datang.

“sudah malam, sudah gelap. Ayo pulang!”

“Jam berapa sekarang?”

Terdengar bunyi unik yang mengaum darinya. Disertai uap lelah yang terus terbang bebas.

Aku berkesimpulan, ini adalah jam dimana saat aktivitas telah usai. Usai dari kesibukan yang dapat terhitung dengan waktu. Sehari, seminggu, sebulan, statistik sekali pokoknya. Sebaliknya, denganmu seperti berjalan menggunakan splittimer/stopwatch, terasa begitu cepat. Menyambut pagi, meninggalkan siang, menyambut malam selanjutnya menyambut malam kembali.

“Jam sembilan. Es campur yuk?”

Tuh kan? Jelas sekali dia cuma bisa lihat gelap dan terang. Kuliner menu tertentu tak selalu 24 jam. Ada waktunya. Lain denganmu. Aku tak mengenal angka lagi jika sudah bersamamu. Tapi panggilan masuk dari kedua orangtua kami masing-masing.

“Sepertinya hari ini pulang lebih awal dari kemarin ya?”

“Kemarin kita pulang jam berapa?”

Hening tanpa jawaban..


Hai waktu..sungguh kau tak begitu punya arti vital untuk kami. Besok-besok arloji matiku ini tetap aku pakai..penunjuknya ada di matamu..mataku..mata kita berdua.

*Confianza story gita melisa, 20 Maret 2012

No comments: