“Jam berapa
sekarang?”
“Jam satu”
“Loh, di arlojiku
jam tujuh”
Tawa kami pecah
menyadari sahabat duabelas angka ini berbeda penunjuknya. Jarumnya sama-sama
berhenti, tapi tawa kami tak terhentikan..menyisakan senyum. Senyum maaf untuk
pedoman duapuluh empat jam yang fungsinya tak lagi seyogyanya, paling tidak
untuk kami.
Sepasang arloji
yang melingkar di pergelangan tangan, yang fungsinya beralih. Hanya sebatas
estetika, tapi ceritanya untuk kami sungguh sebuah estetika cerita cinta yang
luar biasa manis.
“Jadi itu mati?”
“Ya”
“Punyaku juga”
Penunjuk waktu itu
ada di kamu, senyummu, ceritamu, tingkah lucumu, itu seperti urutan angka dalam
arlojiku. Satu..dua..tiga..empat..dan seterusnya sampai gulita mulai datang.
“sudah malam, sudah
gelap. Ayo pulang!”
“Jam berapa
sekarang?”
Terdengar bunyi
unik yang mengaum darinya. Disertai uap lelah yang terus terbang bebas.
Aku berkesimpulan,
ini adalah jam dimana saat aktivitas telah usai. Usai dari kesibukan yang dapat
terhitung dengan waktu. Sehari, seminggu, sebulan, statistik sekali pokoknya.
Sebaliknya, denganmu seperti berjalan menggunakan splittimer/stopwatch, terasa begitu cepat. Menyambut pagi,
meninggalkan siang, menyambut malam selanjutnya menyambut malam kembali.
“Jam sembilan. Es
campur yuk?”
Tuh kan? Jelas
sekali dia cuma bisa lihat gelap dan terang. Kuliner menu tertentu tak selalu
24 jam. Ada waktunya. Lain denganmu. Aku tak mengenal angka lagi jika sudah
bersamamu. Tapi panggilan masuk dari kedua orangtua kami masing-masing.
“Sepertinya hari
ini pulang lebih awal dari kemarin ya?”
“Kemarin kita
pulang jam berapa?”
Hening tanpa
jawaban..
Hai waktu..sungguh
kau tak begitu punya arti vital untuk kami. Besok-besok arloji matiku ini tetap
aku pakai..penunjuknya ada di matamu..mataku..mata kita berdua.
*Confianza story gita melisa, 20 Maret 2012
No comments:
Post a Comment