Presiden
Mahasiswa Universitas Brawijaya baru terpilih yaitu Rizky Kurniawan sempat melakukan
tindakan yang heroik dan berani sekaligus mengingatkan kembali memori kita
semua untuk melawan lupa pada kasus lumpur lapindo. Saat itu ketika Aburizal
Bakrie datang ke Universitas Brawijaya untuk mengisi kuliah tamu kewirausahaan
pada hari Jumat Pekan lalu. Aburizal mendapat kado istimewa dari Presiden
mahasiswa UB sebuah lumpur pada sesi acara kuliah tamu. Sebagai simbolis,
lumpur tersebut kembali mengingatkan pada ketum partai berlambang pohon
beringin ini untuk segera menuntaskan permasalahan kasusnya yang sudah
menginjak 7 tahun belum selesai tersebut. Selama 7 tahun pula semburan lumpur
lapindo tak kunjung berhenti. Tragedi lumpur lapindo melahirkan dampak negatif
yang hebat. Menenggelamkan harapan hidup orang banyak, menenggelamkan sebagian perekonomian,
menenggelamkan sosial budaya yang tadinya tumbuh sehat, menenggelamkan
infrastruktur pendidikan dan menenggelamkan keadilan hukum Indonesia juga atas
perbuatannya. Gila!
Ribuan penduduk sipil diungsikan, puluhan pabrik terpaksa harus berhenti beroperasi, otomatis lahir ribuan pengangguran, areal pertanian berhektar-hektar ludes, dan kerusakan lingkungan akibat dari bencana tersebut yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Sudah 7 tahun semburan lumpur lapindo memberikan penderitaan bagi rakyat sipil dan negara. Pada kenyataannya, negara yang harus memikul bencana lumpur lapindo tersebut. Penanganan korban dan penuntasan ganti rugi kepada rakyat sipil yang menjadi korban semburan lumpur pun juga tak kunjung selesai selama 7 tahun ini. Menurut Kerusakan yang terjadi menjadi social cost akibat pengeboran minyak yang gagal tersebut, ini menjadi tanggung jawab jangka panjang oleh negara. Peristiwa ini juga menyita perhatian secara nasional bahkan luar negeri. Bersyukur, kita masih punya aktivis, beberapa elemen LSM yang terus berjuang dengan gigih untuk memperjuangkan keadilan demi kepentingan hidup orang banyak sama juga seperti aksi sederhana dari Presiden mahasiswa UB yang mengingatkan secara simbolis tersebut. Sekedar mengingatkan saja sudah cukup, lebih dari itu malah lebih baik. Cukup mencerminkan masih punya sisi etis manusia, sebagai makhluk yang mempunyai hati nurani sekaligus sebagai pemimpin dan mahasiswa yang punya label agent of change.
Hukum di Indonesia, kalau kita perhatikan selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan. Kepastian hukum bisa diatur oleh orang yang memiliki kekuasaan. Prihatin, pakai sinis juga sih. Tapi itulah kenyataannya. Bahwa hukum telah dipelintir oleh kekuasaan politik. Engga heran juga. Sehingga, peristiwa lumpur lapindo masuk dalam kategori bencana alam. Perusahan besar selalu dekat dekat dengan kekuasaan dan negara, apalagi perusahaan perminyakan. Padahal secara ilmiah, gagalnya eksplorasi minyak&gas tersebut bukan akibat dari bencana alam (gempa,red), hal tersebut ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan pertambangan internasional. Seharusnya, pihak PT.Lapindo lah yang harus bertanggung jawab penuh dalam peristiwa tersebut. Menjengkelkan rasanya, negara yang harus menanggung triliunan rupiah akibat ulah kelalaian korporasi dan kepastian hukum yang belum adil. Everday politics, uh! Everyday politics terus pemberitaannya. Pemberitaan perkelahian dan konflik internal, ribut-ribut parpol, DPR,dll. Oke, mungkin itu diskusi sampai debat hebat dan kerja mereka ditampilkan untuk rakyat. Tapi, kerja dan perilaku politik mereka yang gaduh membuat bingung masyarakat. Jangan heran, kalau pemberitaan pada daerah seperti Indonesia bagian timur seperti Papua kurang, kok kasihan ya di daerah timur sana, tak hanya timur, tapi hampir semuanya. Apalagi kisah terbaru tentang Tasripin, yang juga tampil di layar tv, cukup trending topic kok, Tasripin ialah seorang bocah yang harus menghidupi ketiga adik-adiknya tanpa orang tua. Mana tuh si kuning golongan karya? orang-orang yang berkarya untuk negeri? Oh mungkin karyanya adalah ‘janji’ doang. Negeri ini banyak tayangan pelestarian kemiskinan dan ketidakadilan ih.
Masih ingat Hari Suwandi salah satu korban lumpur lapindo? Ya, dia salah satu korban lumpur lapindo yang melakukan aksi heroiknya dengan berjalan kaki seorang diri dari Porong menuju Jakarta.Namun, sayang hasilnya adalah ia berkhianat saat live wawancara di media yaitu Tv One milik grup Bakrie. Negeri ini begitu mengkhawatirkan ya. Uang menjadi raja, manusia dikuasai benda itu. Hanya demi uang yang dijanjikan 5 juta perbulan, Hari Suwandi abaikan amanah dan harapan mewakili dari banyaknya korban lumpur lapindo. Sama aja, dia cuma janji, gak jauh beda kan sama orang-orang yang itu tanda kutip. Ini potret nyata yang bukan terjadi di orang-orang senayan atau pejabat lainnya. Tapi manusia yang mencoba untuk menjadi pahlawan, tapi jegleg di tengah jalan. Ada apa dengan hati nurani? Konslet? Mungkin iya. Niat dan aksi aja juga gak cukup. Loh terus aksi jalan kaki yang sudah dilakukannya? Bisa saja narsis, bisa saja manis dimulut dan keberanian fisik, tapi secara moral, nihil. Permainan kotor dibalik layar dari media. Semua bisa dihalalkan dengan segala cara demi kepentingan medianya. Hari Suwandi pun demikian, serakah. Membuat pernyataan yang mengecewakan harapan banyak orang, korban lumpur lapindo. Lucu! Individualisme! Makanya gak heran sekarang klo agak skeptis dengan dunia aktivis, skeptis juga sama dunia parlemen, dengan mudah banyak yang menjadi oportunis.
Ribuan penduduk sipil diungsikan, puluhan pabrik terpaksa harus berhenti beroperasi, otomatis lahir ribuan pengangguran, areal pertanian berhektar-hektar ludes, dan kerusakan lingkungan akibat dari bencana tersebut yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Sudah 7 tahun semburan lumpur lapindo memberikan penderitaan bagi rakyat sipil dan negara. Pada kenyataannya, negara yang harus memikul bencana lumpur lapindo tersebut. Penanganan korban dan penuntasan ganti rugi kepada rakyat sipil yang menjadi korban semburan lumpur pun juga tak kunjung selesai selama 7 tahun ini. Menurut Kerusakan yang terjadi menjadi social cost akibat pengeboran minyak yang gagal tersebut, ini menjadi tanggung jawab jangka panjang oleh negara. Peristiwa ini juga menyita perhatian secara nasional bahkan luar negeri. Bersyukur, kita masih punya aktivis, beberapa elemen LSM yang terus berjuang dengan gigih untuk memperjuangkan keadilan demi kepentingan hidup orang banyak sama juga seperti aksi sederhana dari Presiden mahasiswa UB yang mengingatkan secara simbolis tersebut. Sekedar mengingatkan saja sudah cukup, lebih dari itu malah lebih baik. Cukup mencerminkan masih punya sisi etis manusia, sebagai makhluk yang mempunyai hati nurani sekaligus sebagai pemimpin dan mahasiswa yang punya label agent of change.
Hukum di Indonesia, kalau kita perhatikan selalu berhadapan dengan dua kendala utama, yaitu kekuasaan dan keadilan. Kepastian hukum bisa diatur oleh orang yang memiliki kekuasaan. Prihatin, pakai sinis juga sih. Tapi itulah kenyataannya. Bahwa hukum telah dipelintir oleh kekuasaan politik. Engga heran juga. Sehingga, peristiwa lumpur lapindo masuk dalam kategori bencana alam. Perusahan besar selalu dekat dekat dengan kekuasaan dan negara, apalagi perusahaan perminyakan. Padahal secara ilmiah, gagalnya eksplorasi minyak&gas tersebut bukan akibat dari bencana alam (gempa,red), hal tersebut ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan pertambangan internasional. Seharusnya, pihak PT.Lapindo lah yang harus bertanggung jawab penuh dalam peristiwa tersebut. Menjengkelkan rasanya, negara yang harus menanggung triliunan rupiah akibat ulah kelalaian korporasi dan kepastian hukum yang belum adil. Everday politics, uh! Everyday politics terus pemberitaannya. Pemberitaan perkelahian dan konflik internal, ribut-ribut parpol, DPR,dll. Oke, mungkin itu diskusi sampai debat hebat dan kerja mereka ditampilkan untuk rakyat. Tapi, kerja dan perilaku politik mereka yang gaduh membuat bingung masyarakat. Jangan heran, kalau pemberitaan pada daerah seperti Indonesia bagian timur seperti Papua kurang, kok kasihan ya di daerah timur sana, tak hanya timur, tapi hampir semuanya. Apalagi kisah terbaru tentang Tasripin, yang juga tampil di layar tv, cukup trending topic kok, Tasripin ialah seorang bocah yang harus menghidupi ketiga adik-adiknya tanpa orang tua. Mana tuh si kuning golongan karya? orang-orang yang berkarya untuk negeri? Oh mungkin karyanya adalah ‘janji’ doang. Negeri ini banyak tayangan pelestarian kemiskinan dan ketidakadilan ih.
Masih ingat Hari Suwandi salah satu korban lumpur lapindo? Ya, dia salah satu korban lumpur lapindo yang melakukan aksi heroiknya dengan berjalan kaki seorang diri dari Porong menuju Jakarta.Namun, sayang hasilnya adalah ia berkhianat saat live wawancara di media yaitu Tv One milik grup Bakrie. Negeri ini begitu mengkhawatirkan ya. Uang menjadi raja, manusia dikuasai benda itu. Hanya demi uang yang dijanjikan 5 juta perbulan, Hari Suwandi abaikan amanah dan harapan mewakili dari banyaknya korban lumpur lapindo. Sama aja, dia cuma janji, gak jauh beda kan sama orang-orang yang itu tanda kutip. Ini potret nyata yang bukan terjadi di orang-orang senayan atau pejabat lainnya. Tapi manusia yang mencoba untuk menjadi pahlawan, tapi jegleg di tengah jalan. Ada apa dengan hati nurani? Konslet? Mungkin iya. Niat dan aksi aja juga gak cukup. Loh terus aksi jalan kaki yang sudah dilakukannya? Bisa saja narsis, bisa saja manis dimulut dan keberanian fisik, tapi secara moral, nihil. Permainan kotor dibalik layar dari media. Semua bisa dihalalkan dengan segala cara demi kepentingan medianya. Hari Suwandi pun demikian, serakah. Membuat pernyataan yang mengecewakan harapan banyak orang, korban lumpur lapindo. Lucu! Individualisme! Makanya gak heran sekarang klo agak skeptis dengan dunia aktivis, skeptis juga sama dunia parlemen, dengan mudah banyak yang menjadi oportunis.
Pahit memang harus menerima
kenyataan ini. Sebagai korban lumpur lapindo, mereka tak punya kekuatan besar.
Lalu apa yang bisa mereka perbuat? Tidak ada. Mereka cuma punya cerita dan
harapan yang dimana beberapa elemen masyarakat lainnya bisa tergerak untuk
membantu menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan tersebut. Cerita
hanya bisa menjadi kisah yang usang, bila tak segera diselesaikan. Bagaimana
mau mencapai happy ending?
Dalam
akun twitternya presiden kita mengeluarkan pernyataan “Kita harus mendorong
investasi dan bisnis di Indonesia,tapi rakyat harus menjadi tuan rumah di
negeri nya sendiri” (Acara Thomson Reuters Newsmaker di Singapura). Nyatanya,
emang rakyat memang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, tapi tuan rumah
yang pura-pura. Terus yang tuan rumah siap? Siapalagi kalau bukan si penerima
tamu itu, ya wakil tuan rumah itu. Mungkin, yang penting everyday politics,
everyday proyek, everyday rapat, everyday pembangunan, everyday
korupsi, everyday, tapi rakyat punya every thursday yaitu acara
kamisan di depan istana negara jakarta sebagai bentuk propaganda kampanye
penegakan HAM.
Persoalan lumpur Lapindo tidak hanya
sebatas ganti rugi aset warga, habis itu sudah, habis itu selesai. Banyak
persoalan yang harus diperhatikan, masalah kerusakan lingkungan, air bersih
disana, kesehatan, pendidikan untuk anak-anak, dan tatanan sosial masyarakat. Hal tersebut harus dikembalikan lagi, itu aset
mereka dan hak mereka. Apakah mungkin keadilan,hak mereka bisa
didapat? Mungkin saja bisa, seungguhnya yang dibutuhkan adalah nasionalisme solidaritas sosial - kepedulian dan rasa tanggung jawab antara warga bangsa. Segera ambil peran kawan!
No comments:
Post a Comment